Jumat, 30 Mei 2008

Cita-cita untuk Bercocok Tanam

Sahabat saya, Anton, ketika pulang dari kunjungan resminya ke Thailand, tahun 2007, bercerita betapa bagusnya bus antar kota yang dia tunggangi dari Bangkok ke arah utara di sebuah kota pantai. Berikutnya, ketika pulang dari kunjungan tidak resminya ke beberapa negara jiran, Malaysia Timur, Malaysia Barat, dan Thailand selatan, di tahun 2008, dia bercerita betapa istimewanya Thailand.

Karena pada kunjungan keduanya ini dia masuk dari Thailand selatan, maka cerita bermula di sana. Betapa makmurnya petani di Thailand! Itulah kesannya ketika saya tanyakan lebih khusus tentang para petani di sana. Mungkin dari pertanian yang pernah disinggahinya itu, dipetik dan diekspor ke negeri kita yang namanya: Durian Bangkok. Bagaimana petani di negeri kita?

Saya ingat, di pertengahan tahun 1984, banyak teman-teman saya yang lulus SMA kemudian melanjutkan studi ke sebuah institusi yang secara spesifik berkecimpung di dunia pertanian. Empat atau lima tahun kemudian, teman-teman yang kuliah di sana telah banyak yang lulus. Mereka pun bertebaran di muka bumi. Sebagian besar melamar. Sebagian kecil dilamar. Yang dilamar kebanyakan adalah yang wanita.

Namun, setahu saya mereka semua melamar pekerjaan, tidak ada yang dilamar oleh pekerjaan. But, who knows! Mungkin setelah membaca tulisan ini mereka akan berbagi cerita--dan itu yang saya tunggu--mereka akan berkata,"Siapa bilang aku melamar kerja, orang banyak tawaran langsung datang kok."

Ya, sebagian besar mereka melamar bekerja untuk bercocok tanam. Namun, bercocok tanam yang satu ini hanya menghasilkan bunga, tapi tidak menghasilkan daun dan tidak menghasilkan buah. Sebagian besar mereka bercocok tanam di bank-bank swasta dan bank pemerintah. Ada juga sih yang bekerja menjadi PNS dengan bidang yang sesuai: Pertanian, Peternakan atau Perikanan.

Tadi malam, ketika saya menjadi narasumber untuk sebuah acara talkshow di RRI programa 3 Nasional, mau tidak mau, saya dengan sangat terpaksa sekali harus bicara tentang pertanian, padahal temanya adalah Kritik yang Sopan dan Santun. Mengapa bicara pertanian?

Karena permasalahan yang menjadi tantangan kita akhir-akhir ini adalah meroketnya harga bahan bakar minyak bumi. Nah, karena kita adalah Net-Importer, maka kita harus membayar lebih mahal untuk membeli. Beda dengan Venezuela, karena mereka adalah Net-Exporter, maka mereka (rakyatnya) menikmati harga bensin yang satu liternya hanya ratusan rupiah saja! Artinya, karena negara sudah untung dari hasil ekpor minyak bumi, maka tidak ragu-ragu untuk memberikan subsidi atau bagi benefit kepada rakyatnya.

Jadi pertanyaannya adalah,"Bagaimana agar negeri ini dapat menjadi Net-exporter?"
Jawabnya, menurut saya,"Galang masyarakat untuk bercocok tanam! Khususnya Singkong dan pohon Jarak."

Kedua tanaman tadi dapat menjadi sumber bahan bakar yang kalau surplus, dapat kita ekspor. Kalau saja para teman saya yang pandai bercocok tanam tadi mulai teringat untuk kembali terjun ke bidang ini, dan dapat menggalang ratusan juta petani dan masyarakat untuk menanam singkong dan pohon jarak, maka dalam waktu dekat, pasti negeri kita ini dapat menjadi net-exporter bahan bakar (tidak harus minyak bumi).

Jadi, sebenarnya prospek untuk kembali bercocok tanam adalah sangat baik, apalagi jika digabungkan dengan kreativitas yang tiada batas. Menciptakan banyak alternatif bahan bakar, dan tidak lupa mendaftarkan patennya, sehingga tidak keduluan oleh negeri jiran. Semoga saja ongkos daftar paten dapat diturunkan dan waktu proses paten dapat dipercepat.

Setelah memandang Visi dan Prospek yang sangat cerah dalam bidang ini, anda MAU?

Kamis, 29 Mei 2008

BELI CITA-CITA DALAM KARUNG

Seorang klien wanita berinisial R yang berasal dari Bandung mengirimkan SMS bahwa dia yang nyaris lulus SMU, telah mendaftar untuk kuliah dalam 4 kemungkinan bidang studi. Pertama, Biologi; kedua, Psikologi; ketiga Ilmu Komunikasi; keempat Teknik Informatika.

Ketika saya tanyakan kepadanya mengapa memilih itu, dia menyatakan bahwa dia juga bingung, kenapa akhirnya empat pilihan tadi yang dia tuju. Dia hanya menegaskan, bahwa dia ingin segera bekerja untuk meringankan beban orang tuanya.

Sebenarnya itu adalah niatan yang mulia. Sangat Mulia.

Hanya saja niat tersebut akan menjadi tidak mudah jika kita memilih sesuatu yang kita sendiri tidak tahu apakah kita suka atau tidak dengan bidang tersebut. Tidak mudah karena kita tidak bersemangat untuk mencapainya.

Yang lebih memrihatinkan, dari keempatnya, dia mengakui tidak jelas nantinya "prospeknya" seperti apa. Dalam arti nantinya menjadi apa, bekerja apa, seperti apa tantangannya. Ini yang saya umpamakan seperti "Beli Cita-cita dalam Karung."

Bukankah dalam hidup selalu ada pilihan? Bukankah dalam memilih selalu harus ada pertimbangan?

Selain pertimbangan bakat yang merupakan Kombinasi Kecerdasan, juga penting kita pahami adalah minat kita. Lebih konotatif lagi jika kita katakan sebagai 'hasrat.' Hasrat atau keinginan yang menggebu ini yang harus kita manfaatkan dalam rangka mencapai cita-cita. Seharusnya hasrat ini yang akan membantu kita mendorong gerobak penuh muatan "potensi dan bakat" ke arah tujuan atau cita-cita. Selanjutnya, untuk mempermudah, bakat kita itulah yang kita pakai, sehingga usaha kita tidak harus sekeras orang yang tanpa bakat.

Wawasan kita pada saat memilih jurusan atau bidang atau bidang studi adalah sangat penting. Semakin luas, semakin baik. Dalam pembahasan kita saat ini adalah Psikologi, Biologi dan Komunikasi dan Informatika. Apa kerja para Psikolog? Apa kerja ahli Biologi? Apa kerja ahli Informatika? Apa kerja sarjana Komunikasi? Bagaimana jejak karirnya? Tentunya dalam hal ini membutuhkan proses membuka wawasan dengan membaca buku/majalah/tabloid, berdiskusi, ikut seminar, menonton program TV yang bernas (penuh berisi).

Memang, lapangan kerja adalah sebuah tantangan yang harus dicoba untuk dimasuki. Dengan persaingan yang sengit. Namun, jika semua orang berpikir untuk "melamar," maka permasalahan tingkat pengangguran yang tinggi tidak akan terpecahkan. Namun, jika kita dapat mengubah posisi kita masing-masing sehingga "dilamar," maka itu adalah pilihan yang terbaik.

Untuk "dilamar," kita harus yakin bahwa kita mempunyai suatu kelebihan atau perbedaan. Jika kita sering membuat perbedaan demi perbedaan, maka tanpa terasa kita sudah menjadi orang yang kreatif.

Jadi, selain pentingnya berwawasan luas serta mendalam untuk bidang yang kita sangat sukai--sehingga tidak ada lagi karung sebagai selubung--, berpikir kreatif adalah kunci dari pengangguran di negeri ini. Ambil contoh: orang-orang di Jepang adalah termasuk yang paling kreatif. Mereka banyak menciptakan suatu yang baru, termasuk istilah-istilah baru. Mereka tidak menunggu datangnya investor. Mereka sendiri lah yang melakukan investasi. Semakin lama semakin besar, dan tentunya dengan perbedaan yang mereka miliki, mereka lah yang kemudian dilamar oleh para pemodal, sehingga posisi tawar menjadi lebih baik.

Jadi, anda ingin melamar atau dilamar?

Selasa, 27 Mei 2008

CITA-CITA DAN KONTRAK

Kamus Istilah Proyek tidak laku. Maksud saya, pada awal tahun 2000, ketika drafnya pertama kali saya ajukan ke sebuah penerbit di jalan Salemba, Jakarta, ternyata hanya dalam waktu 7 hari sudah ditolak. Kenapa ke penerbit itu? Mungkin karena saya cinta banget dengan almamater saya. Setidaknya dari tahun 1984 hingga 1987 (sebelum hijrah ke Depok), setiap ke kampus pasti lewat depan penerbit itu. Itulah titik awal perkenalan saya dengan sebuah penerbit.

Kemudian, saya ajukan ke sebuah penerbit di kawasan Rawamangun. Kali ini proses pengkajian dari sisi marketing dan lain-lain lebih lama. Setelah menunggu satu bulan, baru ada keputusan. Ditolak!

Setelah cooling down (tarik nafas panjang dan dalam) beberapa minggu, saya memberanikan diri maju ke penerbit yang lebih besar. Sebuah grup yang sudah mapan sebagai penerbit.

Cukup lama saya menunggu, sebulan, dua bulan, ... hingga enam bulan. Saat itu, oleh salah satu editornya dikatakan,"Menurut bagian marketing sih OK."

Sebulan kemudian, ketika saya tanyakan lagi, masih OK juga, tapi entah kapan akan terbit.
Barulah, setelah kira-kira 6 bulan sejak pertama kali dibilang "OK," datang kabar, bahwa penerbit ini meminta saya mengirimkan softcopy!

Ada rasa girang, tapi ada juga rasa waspada! Apakah saya dapat memercayakan disket saya yang berisi data hasil kerja saya selama beberapa tahun dalam bentuk rangkuman istilah ini kepada pihak yang belum saya kenal? Bagaimana jika nanti isinya diklaim oleh mereka? Ada dilema.

Akhirnya, setelah saya renungkan, dan karena saat itu saya bercita-cita untuk menerbitkannya pada saat saya berumur 35 tahun, dan saat itu saya sudah nyaris berumur segitu, berarti saya harus maju terus dengan segala risiko. Akhirnya, saya datang sendiri, menyerahkan disket dan meminta tanda terima. Tanda terima ini sangat penting, nama judulnya pun harus tepat, demikian juga dengan nama saya sebagai pihak yang menyerahkan disket. Yang jelas, belum ada kontrak apapun!

Setelah beberapa kali (baca: beberapa minggu) kontak dengan sang editor, akhirnya dia berkata bahwa buku sudah siap untuk dicetak, dan kontrak sudah siap untuk ditandatangani. Akhirnya, kira-kira kurang dua minggu sebelum terbit, saya menandatangani kontrak itu, dengan segala keawaman saya tentang kontrak perbukuan.

Memang, seorang penulis sepantasnya menerbitkan bukunya. Seorang penulis pasti ingin hasil karyanya terabadikan dan kalau memungkinkan dapat meng-inspirasi banyak orang. Demikian juga dengan seorang penyanyi, sudah sepantasnya untuk merilis sebuah album serta album-album selanjutnya. Namun, untuk itu ada tantangan berupa persyaratan sebelum semuanya dapat direalisasikan.

Dalam kancah musik, saya terkagum dengan sikap seorang TIA (lulusan AFI) yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi sebuah kontrak. Walaupun, itu berarti dia harus menunggu selama 3 tahun untuk menyelesaikan kontrak. Begitu selesai batas kontraknya, dia bebas untuk menjalin hubungan dengan produser musik.

Akhirnya, pada bulan April 2008, TIA merilis album "solo"-nya yang pertama. Saya tulis "solo" dalam tanda petik karena dia juga tampil berduet dengan seorang pengarang lagu yang ada.

Saya tidak heran bahwa banyak produser atau label ingin mengandeng TIA untuk merekam lagu. Setidaknya, ada dua hal besar yang positif dari seorang TIA. Pertama, banyak orang mengakui betapa hebat bakat menyanyi yang dia miliki. Kedua, dia telah membuktikan bahwa dia sangat komit dengan kontrak yang ditandatangani, tanpa mengeluh. Hal ini pasti membuat pihak label yakin bahwa ia pun akan komit jika menjalin kontrak dengan mereka.

Memang, dalam rangka mencapai cita-cita, kita akan dihadapkan pada situasi "harus menandatangani kontrak." Pengetahuan kita akan kebiasaan isi kontrak adalah sangat penting. Tentunya di sini, kehadiran seorang Mentor yang telah mengenyam asam-garam kontrak dengan pihak-pihak yang menjadi rekanan atau produser adalah sangat penting. Seorang Mentor akan senang menjelaskan apa-apa yang penting dan apa-apa yang harus dihindari dalam kontrak yang sedang diajukan.

Namun demikian, walaupun kita sudah memiliki Mentor, tetap berhati-hati dan cerdas dalam menyikapi sebuah kontrak adalah suatu keharusan.

Nah, jika dihadapkan dengan kontrak semacam itu, Anda siap?

Senin, 26 Mei 2008

PENEMUAN DIRI DAN CITA-CITA

"Apakah aku masih berguna bagi orang lain?"
"Apa sih yang aku punya sehingga aku dapat membantu orang lain?"
"Siapa aku dan mengapa aku begini?"

Ketiga pertanyaan di atas cukup sering ditanyakan oleh para remaja. Bagi anda orang dewasa yang telah "berhasil" melalui masa remaja, mungkin anda pernah mengajukan satu atau beberapa pertanyaan yang mirip dengan yang di atas.

Seorang klien di Bandung sempat bertanya,"Kak, apa betul posisi sangat menentukan prestasi?"
Dia bertanya demikian karena dirinya merasa sebagai seorang siswa yang dikelilingi oleh beberapa orang teman yang hobinya bercanda dan tidak pernah serius dalam belajar, sehingga nilai rapornya menjadi tidak optimal.

Saya jawab,"Coba berikan kepada teman-temanmu TUJUAN."

Seseorang yang mempunyai tujuan, pasti akan mempunyai semangat yang berbeda dengan orang yang sama sekali tidak punya tujuan. Walaupun tujuan dapat untuk diri sendiri ataupun untuk orang lain, yang penting ada tujuan, maka semangat akan bertambah.

Seorang keponakan (jauh) ketika ditanya cita-citanya, dia katakan dia ingin menjadi dokter. Saat ini dia hampir lulus SMP (sedang melaksanakan ujian akhir sekolah sambil menunggu hasil Ujian Nasional). Ibunya menimpali,"Ah..mungkin karena dia melihat kakeknya sedang sakit dan di-opname, makanya dia jawab seperti itu."

Dalam hal ini, mungkin si anak memang ingin membantu sang kakek, dan orang-orang lain yang sedang sakit, walaupun sekarang tidak banyak yang dapat dia lakukan. Atau, boleh jadi dia juga ingin mencapai sesuatu untuk dirinya sendiri, bahwa jika menjadi dokter maka akan mendapatkan penghasilan yang lumayan. Atau, boleh jadi kedua-duanya.

Memang, 3 pertanyaan di atas, akan lebih baik jika diubah menjadi:
"Bagaimana supaya saya dapat membantu orang lain?"
Tentunya, karena pada pertanyaan yang terakhir ini telah tersirat adanya perumusan langkah dan tindakan, jauh lebih maju daripada sekadar "mengapa."

Saya jadi teringat berpuluh tahun lalu, di tahun 1980, ketika saya duduk di kelas 2 SMP (sekarang istilahnya kelas 8). Ya, pertanyaan saya kepada diri saya sendiri adalah:

"Apakah aku masih berguna bagi orang lain? Kalau prestasiku turun terus, mau jadi apa aku?"

Apa yang memicu diri saya mengajukan pertanyaan itu?
Waktu itu sebagai remaja, tentu sama dengan teman-teman yang lain, dan sesuai dengan teori psikologi yang umum, sedang mencari jati diri. Namun, ada suatu hal yang mengganggu pikiran saya. Nilai rapor saya dari semester ke semester semakin turun. Saya sedih melihat grafik nilai saya yang menurun. Semester 1 (kelas 1) jumlah nilai saya 74 (dari 10 pelajaran), semester 2 mendapat nilai 73, dan di semester 3 (kelas 2) mendapat nilai 72. Ah, mau jadi apa saya nanti?

"AKU HARUS BERUBAH!"

Hal itu yang ada di dalam benak saya. Kalau saya tidak berubah, maka "saya tidak akan jadi apa-apa." Tapi, saya tidak tahu banyak tentang diri saya, kecuali bahwa ketika lulus SD, ibu saya mendaftarkan saya untuk mengikuti Psikotest di sebuah lembaga psikologi terkenal. Bagaimana hasilnya?

Sungguh, kalau saya membaca angka dan kode-kode penuh rahasia di lembar yang ada, saya jadi tambah bingung. Hanya saja, ibu saya mengatakan,"Nilai kamu nggak jelek kok." Saya hanya sempat membaca atau mendengar bahwa nilai IQ yang rata-rata adalah 100. Artinya kalau sudah mencapai 100 + alhamdulillah, berarti sudah di atas rata-rata. Itu saja.

Jadi dengan bekal 100 + alhamdulillah tadi, saya berusaha berubah. Mencari cara untuk mempelajari Sejarah yang bikin mabuk dengan angka-angka tahun dan tanggal, belajar matematika dengan latihan soal, karena tanpa latihan soal nggak akan bisa menjawab soal saat ujian. Menghafalkan Biologi yang memang harus dihafalkan. Saya jadi ingat ada istilah "anabaena azolae" atau semacam itu lah yang sering diplesetkan oleh teman-teman menjadi "anabaena Ajilae."

Alhamdulillah, sekali lagi Alhamdulillah, nilai terdongkrak, hanya dalam waktu 1 semester. Saya yang tadinya ada di "papan tengah" tiba-tiba berada di "papan atas" klasemen. Ternyata saya berhasil berubah dan nyaris di semua pelajaran mendapat tambahan 1 angka. Nilai rapor saya di semester 4 adalah 80,5 untuk sepuluh mata pelajaran. Jadi naiknya 8,5 angka. Buat saya, ini fantastis! Never thought it might happened. Itulah momen penemuan diri saya.

Jadi, seorang remaja yang sedang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan, tentang jatidirinya, membutuhkan pemicu untuk bangkit. Untuk menemukan dirinya sendiri.

Jadi, orang dewasa yang ada di sekitar para remaja, perlu untuk memantau dan menyemangati mereka para remaja. Yaitu untuk membantu mereka menemukan diri mereka sendiri dan memosisikan diri dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka harus mempunyai tujuan dalam hidup. Tentunya, hal itu harus diikuti dengan membangun Cita-cita yang SMART, agar lebih cepat mencapainya.




Rabu, 21 Mei 2008

CITA-CITA BAGAIKAN BOLA

Pagi ini saya baru saja menyaksikan final kejuaraan Champions Cup Sepakbola Eropa, tahun 2008. Manchester United berhasil menjadi juara. Chelsea nyaris menjadi juara. Christiano Ronaldo yang gagal mencetak gol dalam adu penalti sempat menangis. John Terry yang juga gagal mencetak gol dalam penalti juga menangis, tapi lebih panjang tangisannya. Christiano Ronaldo terlihat ragu-ragu sebelum menendang bola sehingga bola dapat ditepis, sedangkan Terry terpeleset sehingga arah bola melenceng dari gawang.

Kedua belah pihak menangis, yang satu sedih, yang lainnya gembira.

Walau bagaimanapun, para pemain dari kedua belah pihak, setidaknya telah mencapai salah satu cita-cita mereka, yaitu menjadi pemain profesional di klub sepak bola yang kaya-raya: MU dan Chelsea. Bukankah setiap pemain sepakbola pro selalu punya keinginan seperti itu?

Ketika mereka masih muda belia, pasti bercita-cita untuk menjadi pemain yang pro yang tergabung di klub yang elite. Ketika telah bergabung di klub yang elite, mereka bercita-cita untuk menjadi juara dalam setiap kompetisi dan pertandingan liga.

Ketika tengah bermain, mereka mengejar-ngejar si bola bulat. Ketika telah dekat, bola itu malah ditendang menjauh. Yang menarik, bolanya cuma satu, yang berebut ada 22 orang.

Tahukah anda bahwa cita-cita juga seperti bola bulat? Bulat adalah lambang kesempurnaan bentuk geometris ruang. Kalau anda perhatikan, tidak ada sudut dalam sebuah bola bulat. Berbeda dengan kubus, yang memiliki 8 sudut. Berbeda dengan lambang keabadian yaitu piramida yang mempunyai setidaknya 4 atau 5 sudut, tergantung bentuk alasnya. Tapi si bola bulat sungguh sempurna, tanpa sudut.

Cita-cita juga demikian adanya. Dia adalah lambang kesempurnaan dalam hidup seseorang. Seorang yang telah dewasa, biasanya antara usia 35 hingga 40 tahun akan bertanya-tanya pada dirinya sendiri,"Apakah semua cita-citaku telah tercapai?" atau "Mengapa hingga saat ini hidupku belum bermakna?"

Ada juga seorang yang berusia 55 tahun, yang berkata kepada dirinya sendiri,"Seandainya aku dulu melakukan ini dan itu, mungkin aku dapat mencapai cita-citaku sejak kecil dan hidupku menjadi lebih bermakna."

Cita-cita adalah sesuatu yang belum tercapai, karena ketika telah tercapai, itu tidak lagi kita anggap sebagai cita-cita, namun sebagai sebuah kenyataan atau realita. Untuk dapat menambah semangat lagi, seseorang yang telah mencapai cita-citanya harus membuat cita-cita baru. Sama seperti bermain sepakbola, ketika telah ada di kaki kita, kita akan menendang ke arah lain, untuk kita kejar lagi.

Bola juga adalah lambang perjuangan. Untuk mencapai kesempurnaan bentuk, bola kulit haruslah dipompa dengan tenaga yang tidak sedikit. Semakin banyak angin dipompa, semakin keras bola dan semakin sempurna bentuknya. Namun, tidak boleh berlebihan dalam memompa, karena jika berlebihan maka dia ada meledak, sehingga hilanglah kesempurnaan tadi.

Cita-cita pun demikian, adalah lambang perjuangan. Untuk mencapainya, seseorang harus berjuang. Bahkan seorang David Beckham pun harus berjuang. Bahkan seorang Pele pun harus berjuang untuk mencapainya. Namun, tidak perlu berlebihan, tidak perlu curang, karena kecurangan tadi akan merusak kesempurnaannya. Tidak perlu "Tangan Tuhan" untuk mencetak sebuah gol. Sportivitas atau kejujuran harus dijunjung dalam usaha mencapai cita-cita. Walaupun kita membutuhkan pengakuan (recognition) bukan berarti harus memaksakan. Bukankah sesuatu yang kita capai dengan jujur akan lebih berkesan bagi kita?

Usaha mencapai cita-cita adalah drama. Drama yang baik adalah drama yang tidak mudah ditebak, karena itu akan lebih berkesan. Persis seperti usaha kita selama ini yang tidak terlalu mudah ditebak hasilnya. Namun siapa yang lebih fokus dan lebih tenang serta sabar, akan mendapatkan hasil yang gemilang. Anda mau?

Selasa, 20 Mei 2008

DISKUSIKAN CITA-CITAMU

Saya punya klien yang takut untuk berdiskusi dengan ibunya tentang apapun. Juga tentang cita-citanya. Dia tidak ingin mendapat komentar negatif dari ibunya, sementara ayahnya agak jauh karena dinas di luar kota.

Saya juga punya klien yang telah berdiskusi dengan orang tuanya. Tapi ada perbedaan pandangan sehingga mereka saling berselisih paham. Orang tuanya mengatakan bahwa cita-citanya membutuhkan biaya yang banyak, yang tidak disanggupi ortunya.

Saya juga punya klien yang ingin jadi Psikolog tapi ortunya ingin dia menjadi polisi, dan dia disuruh untuk mendaftar di Akademi Polisi. Tapi, dia takut tidak diterima, karena takut kalah bersaing dengan para wanita lain se-Indonesia, karena katanya dalam tiap angkatan sangat sedikit yang diterima. Tapi sekali lagi, dia sangat ingin menjadi Psikolog.

Saya juga punya klien yang sangat rajin berdiskusi dengan ibunya, yang sangat dekat dengannya karena dia anak tunggal sedangkan ayahnya sangat sibuk bekerja. Akhirnya dia dapat memasuki fakultas psikologi sebuah universitas ternama.

Saya juga mendapat cerita, bahwa seorang guru pernah mempunyai seorang murid lelaki yang mempunyai lesung pipi, yang selalu duduk di belakang, ngobrol, ketika guru ini sedang mengajar. Ketika ditanyai oleh sang guru, siswa ini tidak bisa menjawab (lha iyalah..). Dia termasuk anak yang minder karena tidak mendapat perhatian dari orang tuanya yang dua-duanya sangat super sibuk sekali! Dia lebih sering mendapat bimbingan dari neneknya, bahkan yang mengambilkan rapor adalah neneknya. Bahkan, neneknya mengatakan kepada gurunya,"Pokoknya kalau ada apa-apa ndak usah hubungi bapak-ibunya, tapi hubungi saya saja."
Tapi, siapa sangka, sekarang ini si anak sudah menjadi seorang penyanyi muda yang digandrungi remaja putri. Dia sedang naik daun sebagai penyanyi.

Apakah ayah-ibunya tahu sejak dulu bahwa dia ingin menjadi penyanyi?
Saya menduga tidak. Tapi mungkin saja neneknya sudah tahu.

Beberapa waktu yang lalu, kenalan saya bercerita bahwa anak perempuannya yang duduk di SMA masih bingung mau meneruskan kuliah di mana. Si anak bingung! Si Bapak juga bingung, tapi karena dia ketemu dengan saya, saya bilang beli buku saya dulu (DreamSMART for Parents), kalau masih bingung coba telepon saya!

Saya juga punya kenalan satu lagi. Dia adalah guru BK di sebuah SMP di Kebayoran Baru. Salah seorang anaknya sudah duduk di SMK, jurusan Tata Boga. Anaknya yang ini lelaki. Si ibu menganjurkan dia masuk ke sana karena dia melihat bakat yang besar si anak dalam hal masak-memasak. Apalagi sekarang dunia kuliner lagi heboh-hebohnya! Pokok-e MAK NYUS! (maaf pak Bondan, saya pinjam istilah anda :-D)

Sementara anak lelakinya yang satunya masih SMP, tapi sudah punya cita-cita pingin menjadi ahli MODIF MOTOR. Maksudnya jadi ahli memodifikasi sepeda motor. Mungkin anda ada yang punya sepeda motor yang diubah-ubah bentuk dan penampilannya, berarti anda sudah pernah ke bengkel modif. Si ibu guru ini setuju saja dia menjadi ahli modif motor, apalagi peminat motor sekarang ini sangat banyak, dan modalnya tidak terlalu besar. Begitu tutur bu Guru ini kepada saya.

Oops, ternyata saya masih ada satu contoh lagi.
Saya punya kenalan seorang bapak yang anaknya banyak. Anaknya yang nomor 5 ternyata sejak kelas 2 atau 3 SD sudah punya cita-cita ingin jadi Dokter Gigi. Sang Ayah cukup rajin menanyakan cita-citanya. Sekarang, si anak sudah duduk di kelas 9, hampir lulus. Dan, ternyata cita-citanya tidak berubah. Kok bisa?

Apa inti dari pembahasan kali ini?

Intinya adalah bahwa sangat bijaksana jika cita-cita para remaja didiskusikan dengan ortu atau orang dewasa lain yang dapat memberikan bimbingan. Ini bukan saja bicara tentang berapa biaya untuk mencapai cita-cita, tapi juga tentang masa depan mereka. Apa yang menjadi MIMPI mereka.

Hal ini bukanlah masa depan para orang dewasa yang sudah berumur, tapi yang lebih penting adalah masa depan para remaja Indonesia. Tentunya kita tidak ingin membuat mereka ragu-ragu dalam perjalanan mereka menuju cita-citanya. Yang lebih parah tentunya adalah jika mereka sebenarnya belum mempunyai cita-cita yang jelas dan fokus.

Jadi bagi orang dewasa, bimbinglah para remaja kita.
Bagi para remaja, tanyakan dan diskusikan cita-citamu dengan ortu atau orang dewasa yang paling asyik untuk diajak curhat.
Bagi para orang tua dan orang dewasa lain, pelajari bahasa para remaja kita, karena ini sangat bermanfaat dalam berkomunikasi dengan mereka gitu loch. Secara ni jaman dah laen, bukan jadul gitu loch.

Jadi, mari ajak para remaja berdiskusi tentang cita-cita mereka!

CALON DOKTER

Tanggal 19 Mei 2008, saya mendapat SMS dari BANI yang tinggal di Bandung (HP 0857 2208 3xxx)

Bani:
Maaf kak, saya Bani, anak kelas 2 SMA di Bandung. Baru sekarang saya baca buku kakak. Bukunya saya suka. Apa kakak sudah mengeluarkan buku yang baru lagi?
Apa lewat no ini saya bisa konsultasi?

Kak Aji:
Dik Bani, silakan kalau mau nanya-nanya.
Buku saya yang terakhir terbit adalah DreamSMART for Parents (Elex Media Komputindo).

Bani:
Kak, saya punya planning setelah lulus SMA ingin meneruskan ke fakultas kedokteran. Tapi melihat nilai-nilai akademis IPA saya, saya selalu pesimis, karena nilai-nilainya selalu pas-pasan. Tapi saya kembali semangat karena nilai biologi saya selalu 9 dan ortu pun sudah mendukung sepenuhnya agar saya masuk kedokteran. Tapi tetap saja rasa pesimis itu ada.
Bagaimana cara menghilangkan rasa pesimis itu??

Kak Aji:
Boleh tahu nilai kimia kamu?
Trus, apa KEHEBATAN kamu yang lain, menurut kamu, menurut teman-temanmu dan menurut ortu?
Trus, kalau kamu bisa mengubah dunia, dalam bidang apa?

Bani:
Nilai kimia Bani 7. Bani gak pernah tahu kelebihan yang lain. Bani gak bisa mengubah dunia lain dalam bidang apapun, coz meskipun Bani suka badminton, itu hanya sekadar hobi saja.
Dengan melihat nilai Bani yang seperti itu, ortu juga sempat bilang,"Kalau gak bisa, gak usah dipaksakan, ntar pusing di Bani juga."
Tapi Bani gak kepikiran untuk berpaling dari dunia kedokteran, coz dari kecil Bani senang banget main dokter-dokteran.

Kak Aji:
OK, dokter spesialis apa? Siapa dokter idolamu?

Bani:
Pinginnya dokter anak aja.
Bani gak terlalu tahu tentang profil seorang dokter, tapi Bani suka sama TOMPI. Biarpun dia sibuk sebagai penyanyi tapi bisa meraih gelar dokter juga.
Menurut Kakak sekarang Bani harus bagaimana?

Kak Aji:
Tetap jaga nilai Biologimu. Naikkan nilai Kimiamu.
Ikut Bimbel yang spesifik untuk masuk kedokteran kalau ada.
Buat DREAM STATEMENT di kertas yang besar, A3, taruh di tempat yang sering kamu lihat.
Katakan dengan nyaring,"AKU BISA JADI DOKTER HEBAT!!"

Good luck.

Itulah sedikit "perbincangan" saya dengan seorang calon dokter, yang sejak kecil punya hasrat yang kuat untuk jadi dokter.
InsyaALLAH dia akan bisa menjadi dokter anak yang hebat, kalau FOKUS, karena dia sudah punya dua hal: HASRAT dan BAKAT dalam bidang BIOLOGI. Ilmu kimianya harus ditingkatkan dengan kerja keras, dan itu mungkin dilakukan.

Setelah selesai SMS-an dengan Bani, saya jadi ingin tahu lebih banyak tentang sosok TOMPI yang disebutkan dalam SMS. Saya pun menghubungi NARASUMBER saya melalui SMS. Dia menjawab bahwa TOMPI adalah lulusan kedokteran UI, yang penyanyi dan pernah menjadi sukarelawan untuk melakukan sunatan massal dalam sebuah event (Trims buat NISA, sang calon penyiar yang tahu banyak tentang selebritis, dia sekarang duduk di kelas 9).

Walaupun sekarang fenomenanya ada beberapa lulusan dokter yang menjadi bagian dari dunia entertainment, masih banyak yang ingin menjadi dokter yang berkarir sebagai dokter, dan Indonesia masih membutuhkan banyak dokter.

Masih banyak tantangan bagi dokter-dokter Indonesia. Kita belum punya obat untuk penyakit Demam Berdarah dan beberapa penyakit lain. Seandainya para dokter muda berjuang untuk mendapatkan solusinya, dalam waktu yang tidak lama seharusnya obatnya dapat ditemukan. Karena saya yakin setiap penyakit ada obatnya.

Anda juga ingin jadi DOKTER?

Minggu, 18 Mei 2008

3 SMA Belum Punya Cita-Cita

Tadi pagi (18 Mei 2008) saya berjumpa dengan seorang pengusaha/pengelola bimbingan belajar yang mempunyai motto: "Target Kami Universitas Indonesia." Nama beliau adalah Mas Deddy. Dia ingin mengajak saya untuk menjadi narasumber bagi para orang tua calon siswanya.

Kami bicara sana-sini tentang masalah pendidikan anak dan remaja. Pada suatu titik, dia berkata,"Kemarin, waktu saya di Kampung Melayu, saya tanyakan kepada murid-murid kelas 12 di sana, mau masuk jurusan dan fakultas apa. Ternyata, sebagian besar menggeleng-geleng kepala." Dia melanjutkan lagi dengan mimik yang serius dan tidak percaya,"Lho, padahal khan ujian saringan masuk universitas negeri cuma 3 minggu lagi." Kemudian dia geleng-geleng juga.

Saya juga geleng-geleng! Kemudian saya timpali,"Yah, itulah tantangannya Mas Deddy."
Mengapa bisa terjadi seperti itu? Mengapa sudah hampir ujian saringan masuk tapi belum mempunyai pilihan yang mantab?

Jawabnya gampang, saya yakin mereka belum membaca DreamSMART for Teens, dan saya juga yakin orang tua mereka belum membaca DreamSMART for Parents. Yang lebih pasti, orang tua dan siswa-siswa itu belum berdiskusi dengan sungguh-sungguh dalam memandang masa depan si siswa.

Hal ini mengingatkan saya pada kejadian yang saya alami beberapa puluh tahun lalu, tepatnya bulan Desember 1983. Sekolah (SMA) kami mengadakan psikotest bagi seluruh siswa. Waktu itu sebelum mengikuti test, kami disuruh mengisi formulir yang antara lain harus mengisi pilihan jurusan kuliah yang diminati. Saya ingat, untuk pilihan pertama, saya menulis TEKNIK MESIN, pilihan kedua FISIKA, pilihan ketiga FAKULTAS EKONOMI. Waktu itu saya sangat berharap, para penguji, pak dan bu psikolog akan dapat memberitahu kepada saya, selain yang saya tulis tadi, jurusan apa yang cocok buat saya.

Beberapa bulan kemudian, awal tahun berikutnya, masing-masing siswa mendapatkan jawabannya. Selain dicantumkan berapa IQ kami, juga dicantumkan jurusan yang cocok buat kami masing-masing.

Jawaban lembaga itu, bahwa saya cocok untuk masuk: jurusan TEKNIK MESIN, jurusan FISIKA dan jurusan EKONOMI! Lha, kok sama saja dengan yang saya tulis? "Kalau cuma begini kesimpulannya, saya juga bisa!" kata saya dengan jengkel.

Bertahun-tahun kemudian saya baru menyadari betapa sangat terlambatnya saya, untuk memikirkan masa depan saya. Umur 18 tahun baru mulai mikir. Seharusnya ketika saya SMP sudah harus ada yang memandu, memberitahu profesi dan hal-hal apa yang menarik untuk dijadikan masa depan. Bukan hanya itu, harus ada sesuatu yang membuat hasrat seseorang begitu menggebu-gebu! Seharusnya dari dulu saya harus dihadapkan pada pertanyaan,"Kalau kamu ingin mengubah dunia, kamu pilih bidang apa?" Sayangnya tidak ada yang bertanya begitu.

Ini adalah masalah wawasan. Wawasan adalah tanggung jawab kita semua, sebagai orang tua dan sebagai generasi muda. Tapi maaf, harus saya katakan di sini, wawasan kita masing-masing mungkin sangat terbatas, sehingga tidak banyak juga yang dapat kita ceritakan. Namun dengan bekerja sama dengan orang-orang yang kompeten dan menekuni suatu bidang tertentu seharusnya penambahan wawasan dapat dilakukan.

Kita tentu tidak ingin membuang biaya, tenaga dan waktu, jika siswa-siswa tadi ternyata tidak cocok di suatu jurusan. Biaya pendidikan tinggi sekarang sangat mahal. Bagi yang pandai dan pintar serta kebetulan kurang mampu, maka dia harus berjuang untuk mendapatkan beasiswa yang jatahnya paling hanya 2 atau 3 persen dari seluruh mahasiswa baru. Jika tidak, maka harus menyiapkan dana puluhan hingga ratusan juta rupiah, tergantung jurusan, fakultas dan institusi pendidikannya. Bukankah semakin efisien biaya, tenaga dan waktu, adalah semakin baik?

Bagi orang tua dan para siswa, marilah kita tingkatkan wawasan dengan cara membaca buku, berselancar di internet secara positif, dan bertanya kepada orang yang kita anggap dapat menjawab pertanyaan kita.

Pada paragraf terakhir ini, izinkan saya meminta maaf kepada para psikolog karena ada sedikit hujatan kepada mereka. Tanggapan anda adalah kritikan yang membangun bagi saya.

Sabtu, 17 Mei 2008

PENULIS YANG BEREMOSI

"Kak, aku mau jadi Penulis," demikian sebuah SMS masuk dari sebuah kota kecil di Sumatra Barat. "Kak, aku kirim draft tulisanku ya, tolong dikomentari, trus yang cocok dengan tulisanku ini penerbit mana?", demikian sebuah SMS dari klien yang lain di Jawa Timur.

Bahkan, SMS yang pertama kali saya terima terkait dengan terbitnya buku saya yang berjudul DreamSMART for Teens, adalah dari seorang remaja yang ingin menjadi Penulis. Dia bernama AINUN, kelas 9, dari kota Cilacap, Jawa Tengah.

Jadi, rupanya banyak sekali remaja yang ingin menjadi seorang penulis. Bukan hanya mereka, beberapa orang dewasa pun ingin menjadi penulis. Ini terlihat dari sebuah milis yang menampung para penulis dan calon penulis.

Pada tanggal 16 Mei 2008, saya mengikuti acara launching sebuah buku yang hebat dari seorang penulis yang hebat, dan diterbitkan oleh penebit yang hebat. Ada sebuah kesimpulan yang menarik, bahwa dengan suatu sentuhan, ada banyak orang yang tergugah oleh tulisan di buku itu. Sentuhan itu, mungkin belum banyak diketahui oleh para calon penulis.

Sentuhan yang saya maksud adalah: EMOSI.

Dari beberapa buku hebat yang pernah saya baca, ternyata memang EMOSI menjadi peran yang sangat penting apakah pembaca akan menjadi tertarik, terpicu dan tergugah oleh tulisan. Suatu tulisan yang tanpa EMOSI menjadi terlalu kering, cepat membosankan, karena tidak dapat melibatkan bagian penting dari kecerdasan kita. Yaitu kecerdasan yang paling mudah untuk dipicu, digugah dan bahkan "dibakar."

Bahkan sebuah buku impor, terjemahan, ada yang berjudul "Menulislah dengan Emosi." Sayang saya lupa di mana buku itu kini, sehingga saya tidak tahu siapa penulisnya.

Setelah saya menjadi seorang penulis buku, beberapa orang teman pernah meminta tolong kepada saya untuk menuliskan bukunya. Anggaplah ini menjadi proyek buat saya. Dalam istilah umum, saya akan disebut sebagai Ghost Writer, karena nama saya nantinya tidak akan tercetak dalam buku itu sebagai pengarang, tetapi nama orang yang memberi materi.

Apa yang terjadi kemudian?
Setelah saya mencoba membuat outline dan beberapa paragraf pembuka, saya terhenti. Keesokan harinya saya mencoba lagi, beberapa baris, namun tidak lama kemudian terhenti lagi. Mengapa demikian? Mengapa ide yang seharusnya sudah ada tapi tidak juga dapat mengalir seperti yang saya harapkan?

Belakangan saya baru menyadari bahwa saya tidak mendapatkan EMOSI yang biasanya saya dapatkan ketika menulis untuk diri saya sendiri. Saya tidak dapat merasakan apapun, sebagaimana yang mungkin dirasakan oleh teman saya yang mempunyai ide.

Kesimpulan saya, sejak saat saya menyadari betapa pentingnya untuk melibatkan Emosi dalam sebuah tulisan untuk memotivasi pembaca, maka saya tidak lagi ingin menjadi Ghost Writer bagi siapapun.

Bagi anda yang ingin cepat menjadi penulis yang hebat, menurut saya, anda harus melibatkan setiap segi Emosi anda dalam tulisan itu. Tumpahkanlah emosi anda, dari yang paling kecil hingga Emosi yang paling besar, dari kebencian jika ada, hingga syukur dan cinta jika memang itu ada.

Selamat menulis.
Selamat berkarya.
Selamat berbagi.









Jumat, 16 Mei 2008

SMP Tak Tahu Arsitek?

Suatu siang, di seputaran Blok-M, Jakarta, beberapa hari yang lalu, saya berjumpa dengan tiga orang siswa sebuah SMP. Seperti biasa, saya akan berusaha untuk mencari tahu, apakah anak-anak muda kita ini telah mempunyai cita-cita atau belum. Ini adalah survei kecil saja.

Dari ketiga anak ini, satu orang kelas 8, dan dua orang kelas 7. Ketika saya tanya apa cita-cita masing-masing, yang kelas 7 mengatakan bahwa cita-citanya adalah "menjadi pemadam kebakaran," dan satunya ingin menjadi "Menteri Sekretaris Negara." Wow, mulia sekali. Sedangkan yang kelas 8 yang berumur 13 tahun berkata bahwa ia ingin menjadi "Arsitek."

Karena saya penasaran dengan yang terakhir ini, saya langsung bertanya,"Kamu tahu, kerjanya arsitek itu apa?"

Si anak menggeleng-geleng kepala.

Karena kaget dan terpesona dengan keadaan yang ada, bahwa dia tidak tahu apa yang dia katakan, saya langsung bilang,"Arsitek itu kerjanya menggambar, untuk membangun rumah."
Si anak mengangguk-angguk.

Temannya menimpali,"Elu bisa nggambar?"
Dia menggangguk-angguk lagi.

Wow, luar biasa!
Saya kaget, karena saya tidak menyangka bahwa si anak yang sudah SMP dan ada di Jakarta, ternyata tidak mengetahui apa itu "Arsitek," dalam artian pekerjaan dan kecakapan khusus yang harus dimiliki untuk menjadi "Arsitek."

Arsitek adalah sebutan bagi seorang sarjana teknik yang mempunyai keahlian untuk merancang sebuah bangunan atau beberapa bangunan dalam satu komplek. Rancangan yang dibuat harus estetis, indah namun harus dapat melakukan fungsi-fungsi bagi para penghuninya. Kecakapan yang harus dimiliki adalah keahlian menggambar baik teknis maupun seni. Teknis berarti menggambar proyeksi, termasuk hitungannya. Seni berarti harus mempunyai citra yang indah warna-warni, dan jika mungkin, belum pernah ada bangun yang serupa itu (kreativitas).

Jadi, ini adalah masalah wawasan. Tentunya bukan hanya wawasan si anak, tapi juga para orang dewasa di sekitarnya, yang mungkin belum sempat menjelaskan serba-serbi tentang profesi. Adalah tanggung-jawab orang tua di rumah, guru di sekolah, khususnya para guru BK (Bimbingan dan Konseling) untuk menjelaskan. Di sekolah, jika tidak semua profesi dapat dijelaskan oleh guru BK, maka sekolah seharusnya mengundang salah satu orang tua yang kira-kira paham tentang profesi tadi yang diminta untuk menjadi narasumber bagi para siswa. Anggaplah sebagai forum seminar rutin sebulan sekali, membahas pengenalan profesi.

Memang dari penampilan ketiga orang siswa tadi, tampak bahwa mereka adalah dari keluarga yang sederhana, bukan dari keluarga menengah ke atas. Jadi mungkin saja ada kendala dalam hal wawasan dari orang tua mereka. Sayangnya, tidak semua orang tua menyadari bahwa wawasan mereka kurang luas. Atau, ada yang menyadari namun tidak mempunyai alternatif lain, karena tidak dapat mengusahakan kepustakaan, bacaan bagi anak-anak mereka.

Bagaimana dengan perpustakaan sekolah? Apakah cukup lengkap? Kalau sudah lengkap, apakah banyak siswa yang rajin datang ke sana? Kalau siswa tidak rajin ke perpustakaan, apakah para guru telah menganjurkan? Jika mereka telah menganjurkan, mengapa siswa tetap tidak mau sering pergi ke perpustakaan? Tertarik kegiatan lain seperti online game?

Sayangnya, buku sebagai wahana ilmu untuk sampai kepada manusia di sekitarnya tidak mudah, dan tidak "memaksa." Buku memang sulit untuk memaksa orang untuk mengambil, dan mulai membuka halaman demi halaman.

Di lain pihak, wahana layar kaca sebenarnya mempunyai kekuatan yang lebih besar untuk "memaksa" orang untuk menonton. Itulah sebabnya banyak anak kecil yang hafal jingle lagu iklan berbagai merek. Jadi, seharusnya televisi menjadi wahana untuk menyampaikan pesan-pesan sederhana tentang profesi ini. Sayangnya, bagian itu tidak menarik perhatian para pemasang iklan. Itu karena ratingnya rendah. Karena rating rendah, maka iklan sedikit. Karena iklan sedikit, maka tidak lagi ditayangkan. Sayang sekali.

Dengan sekilas gambaran atau potret kehidupan para remaja, generasi muda kita, di salah satu sudut kota metropolitan seperti di atas tadi, apakah kita tergugah untuk melakukan sesuatu? Bertindak sekarang juga?

Rabu, 14 Mei 2008

CITA-CITA DAN MENTOR YANG ANDAL

Dalam beberapa hari ini, kita masih akan menonton kabar tentang Piala Thomas dan Uber. Indonesia sebagai tuan rumah mempunyai peluang yang cukup besar untuk menjadi juara.
Indonesia memang boleh bangga dengan prestasi Bulutangkisnya.

Namun, apakah semua potensi calon juara dari daerah telah terserap dengan merata? Saya yakin, sangat banyak anak-anak di luar Jakarta, dan juga di luar Jawa, yang bercita-cita menjadi pemain bulutangkis dan ingin menjadi juara dunia atau olimpiade. Siapa sih yang tidak ingin menjadi orang seperti Rudy Hartono atau Susi Susanty?

Di harian KOMPAS pada hari ini (14 Mei 2008) diberitakan perjuangan anak-anak daerah untuk menjadi pemain nasional. Di beberapa kota besar, ada beberapa perusahaan yang bersedia menjadi sponsor untuk penyelenggaraan pelatihan daerah. Tapi apa sudah cukup? Belum!

Keluhan para pembina di sana, mereka tidak mengetahui dengan pasti apakah program latihan mereka telah sesuai dengan standar nasional Indonesia atau belum. Para pelatihnya pun boleh dibilang belum ada yang mempunyai trek rekor di tingkat nasional, apalagi internasional.

Pelatih adalah mentor. Mentor yang baik, adalah yang dapat menjadi guru, menjadi teman, menjadi kakak, dan menjadi keluarga. Namun, Mentor harus juga mempunyai visi yang luas. Visi dapat diperoleh dari pengalaman dan visualisasi. Jika keduanya dimiliki, maka dijamin bahwa anak didiknya akan lebih cepat maju. Kelemahan Mentor yang hanya dapat melakukan Visualisasi adalah bahwa mereka belum pernah mengalaminya. Contoh, seorang pelatih yang belum pernah keluar negeri, hanya dapat mengatakan bahwa di Inggris pada bulan Maret masih dingin, namun dia tidak dapat meyakinkan, seperti apa dinginnya, dan seperti apa gangguan fisik pada atlet karena kedinginan. Dia tidak dapat menjelaskan apa efek jetlag, ketika baru sampai dari perjalanan lebih dari 10 jam di pesawat. Dan yang lebih penting, ternyata berapa pembina belum begitu tahu takaran pelatihan yang dibutuhkan untuk dapat berprestasi, minimal tingkat nasional.

Tidak heran, jika pengurus pelatda ada yang mengatakan bahwa mereka sangat membutuhkan pelatih yang mantan pemain nasional, namun hingga sekarang belum mendapat jatah dari "pusat."

Kualitas pemain, kualitas pelatih dan ada tidaknya dana adalah masalah yang saling berpengaruh. Jika pelatih di pelatnas mendapat gaji yang cukup di Jakarta, apakah mereka juga akan mendapatkan gaji yang sama besar ketika akan melatih di daerah? Apakah ada perusahaan di daerah yang mau memberikan sponsorship sesuai nilai yang dibutuhkan?

Bahkan, ada pelatih daerah yang membandingkan antara anggaran untuk pelatihan Bulutangkis dengan Sepak Bola. Dengan anggaran yang lebih kecil, ternyata cabang Bulutangkis dapat menyumbangkan Emas di Olimpiade dalam beberapa penyelenggaraan, sementara Sepak Bola? Sekiranya anggaran dialokasikan ke cabang BuluTangkis, dia yakin hasilnya akan lebih hebat lagi. Setidaknya anggaran dapat dibagi sebagian ke pelatda.

Memang, mencarikan mentor atau pelatih atau pembimbing yang andal bagi para calon juara tidaklah mudah. Banyak faktor yang berbicara. Namun, betapa pun sulit, harus terus diupayakan agar terjadi proses "standardisasi" dalam cabang-cabang tertentu. Jika beberapa universitas negeri di Indonesia telah cukup mampu melakukan standardisasi dalam kualitas lulusannya, maka sewajarnyalah kegiatan "pendidikan olah raga" juga dapat melakukannya. Tentu ada konsekuensi biaya dari pemerintah dan kerelaan dari para mentornya. Tentunya, secara faktual, yang lebih menjanjikan prestasi adalah cabang "olahraga" yang tidak massal, seperti Bulutangkis, Catur, Tenis, dan Bridge. Untuk yang massal seperti sepakbola, rasanya masih jauh.

Jika tokoh seperti Rexy Mainaki telah dapat melakukan "standardisasi" kualitas pemain di Inggris dan di Malaysia menjadi "seperti Indonesia," karena dia telah pernah melatih di sana, maka wajar jika hal serupa dapat dilakukan di daerah-daerah di Indonesia, asalkan cukup dana untuk membiayai (menggaji) dengan nilai yang wajar bagi para mentornya.

Sungguh sayang jika Cita-cita dan Mimpi besar para anak berbakat tidak dapat terwujud karena ketidakmerataan kualitas dan kuantitas para pelatihnya, tidak ada Mentor Andal. Bakat yang ada akan terbuang percuma. Akankah kita tinggal diam?

Senin, 12 Mei 2008

KEJUJURAN DALAM BERCITA-CITA

Dalam sebuah berita elektronik pada hari ini, 12 Mei 2008 (Liputan6.com), disebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi meluncurkan Warung Kejujuran. Ini adalah bentuk dari suatu proses panjang pencegahan korupsi. Selain diterapkan di kantor KPK, rupanya warung semacam ini juga diluncurkan di beberapa sekolah, dengan maksud yang sama, menyiapkan mental untuk jujur. Indikator kejujurannya adalah, toko tidak akan bangkrut jika proses belanjanya jujur, karena warung ini sama sekali tidak ada penjaganya.

Apa hubungannya dengan Cita-cita?
Ternyata ada.

Dulu, ketika saya masih jadi mahasiswa, saya sempat beberapa kali menghadapi rekan mahasiswa lain yang menurut saya tidak jujur dalam bercita-cita. Mereka tidak berani jujur kepada orang tua mereka tentang cita-citanya sendiri. Yang lebih penting, itu berarti mereka tidak jujur kepada diri sendiri.

Salah satu kejujuran yang juga harus dilakukan, adalah pada saat kita mencoba mencari potensi diri, atau bakat kita, atau talenta kita. Kita harus jujur bahwa kita mempunyai suatu bakat tertentu dan tidak mempunyai bakat yang lainnya. Memang ada sebagian motivator yang mengatakan bahwa kemampuan manusia adalah tidak terbatas, artinya bakat tidak penting. Ada juga yang ahli hipnotis sehingga sepertinya semua--saya ulangi--semua yang tadinya kita tidak bisa lakukan , akan dapat kita lakukan dengan metode hipnotis.

Saya pribadi condong kepada pendapat yang mengatakan bahwa kemampuan manusia itu ada batasnya, tapi batasnya sangat luas dan hanya sebagian kecil wilayah saja yang telah kita jelajahi. Sisanya yang belum kita ketahui apalagi jelajahi masih sangat luas.

Itulah gunanya kita mempelajari tentang ilmu genetika. Ilmu pengetahuan dasar yang kita pelajari menyatakan bahwa manusia mempunyai 46 kromosom. Ketika terjadi perkawinan maka 23 kromosom dari sel telur dan 23 kromosom dari sel sperma akan bersatu membentuk 46 kromosom yang baru. Namun demikian masing-masing kromosom telah membawa "pesan" dalam bentuk rantai DNA yang sangat banyak. Anda dapat bayangkan berapa kemungkinan kombinasi dari 46 kromosom dengan ratusan rantai DNA? Pasti melebihi 10 milyar kemungkinan yang unik.

Nah, inilah yang akan membentuk bakat-bakat kita. Mereka membentuk Kombinasi Kecerdasan. Untuk itu kita perlu mengetahui dan mengeksplorasi kemampuan-kemampuan kita sendiri. Caranya dapat dengan melakukan aktifitas sendiri, dengan bantuan teman dan sahabat untuk memperhatikan kemampuan kita, maupun oleh orang tua dan guru yang mungkin dapat melihat bakat-bakat yang terpendam lainnya.

Ketika seorang mahasiswa tidak jujur dalam memilih jurusan dan fakultas, maka dia menempatkan diri pada posisi yang mungkin tidak sesuai dengan bakat-bakatnya, atau melawan kodrat Kombinasi Kecerdasannya. Ini bukan berarti seorang dengan bakat yang sedang-sedang (mediocre) tidak dapat sukses, namun untuk mencapai sukses dia harus bekerja ekstra keras karena akan bersaing dengan sebagian orang yang sangat berbakat di bidang itu.

Saya mempunyai kenalan seorang anak muda yang sangat berbakat dalam beberapa bidang. Namun dia hanya ingin berfokus pada satu atau dua bidang dulu. Saat ini dia sedang berkuliah di fakultas psikologi sebuah universitas negeri ternama. Namun, sebelum itu dia merasa perlu untuk membuktikan kepada keluarganya bahwa dia dapat diterima melalui saringan masuk ke fakultas MIPA di ITB, yang akhirnya tidak diambilnya. Juga, dia sempat diterima di program internasional di fakultas ekonomi di sebuah universitas terkenal, yang juga tidak diambilnya. Hal ini hanya dia lakukan untuk menyenangkan pihak keluarganya yang sebagian besar sukses dalam bidang eksakta maupun ekonomi. Namun, dia juga membuktikan bahwa dia harus jujur dengan hasrat dan bakat-bakatnya yang lain. Dia ingin mengembangkan diri menjadi seorang psikolog yang dapat membantu banyak orang lain, yang dia anggap lebih asyik daripada seorang psikiater, karena psikolog tidak perlu memberi obat untuk memotivasi seorang pasien. Dia telah jujur kepada dirinya dan kepada orang tuanya.

Dengan kejujuran ini, tidak perlu lagi keraguan ketika melalui kegiatan belajar atau perkuliahan. Semua yang dikerjakan akan lebih ikhlas, lebih bersemangat dan lebih mudah karena sudah ada kejujuran dalam memilih jalur berproses menuju Cita-cita. Ini akan membuat proses mencapai Cita-cita yang lebih cepat dan Sukses yang lebih Besar daripada mereka yang terpaksa melakukannya.

Minggu, 11 Mei 2008

CALON ENTREPRENEUR

Tanggal 17 April 2008, saya mendapatkan SMS dari seorang siswa kelas 9 (3 SMP), namanya HANI. Dia telah membaca buku DreamSMART(TM) for Teens dan mengomentari isi yang terkait dengan cita-citanya. Dia ingin menjadi seorang Entrepreneur. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas, silakan ikuti "percakapan" kami dibawah ini.

Hani: Asww. Kak, ini Hani mau tanya, di apendiks cita-cita yang kakak buat, ditulis 'untuk yang mau jadi entrepreneur(pengusaha) sekolahnya tergantung.' Maksudnya apa?

Aji: Alkslm. Entrepreneur di bidang apa? Untuk menjadi entrepreneur memang tidak harus kuliah, tapi harus paham tentang uang, marketing, networking, dan bidang yang dia terjuni. Misalnya mau dagang Mie Ayam, harus tahu tentang bahan, pembuatan, bumbu dll yang terkait langsung dengan bisnis itu.

Hani: Saya sendiri masih bingung untuk menentukan bidangnya. Ada tips nggak supaya Hani nggak bingung utk menentukan bidang apa yang cocok buat Hani? Trus sekolah yang cocok buat yang mau jadi entrepreneur SMK or SMA?

Aji: OK, saya mau tahu dulu, apa kehebatan kamu, menurut kamu sendiri, menurut temanmu, dan menurut orang tuamu. Trus, kalau kamu ingin mengubah dunia, dalam bidang apa?

Hani: Kalau menurut teman-teman Hani, secara akademis Hani ahlinya matematika di kelas, tapi kalau kata ortu Hani jago ngomong.

Aji: Apakah punya tokoh idola yang kamu pikir hebat dan mungkin kamu bisa mengikuti jejaknya?

Hani: Helmy Yahya, pengusaha media yang sukses. Tapi, Hani belum yakin kalau Hani bisa mengikuti jejaknya.

Aji: Untuk masuk dunia entertainment ada beberapa cara: nyanyi, lawak, main film/sitron, ada yang lewat MC. Mungkin kamu bisa masuk dari jalur itu. Kuliah di Komunikasi Massa di FISIP, tertarik?

Hani: Dimana? Tapi Hani gak tertarik utk jadi entertainer. Hani pengen jadi pengusaha aja. Kira-kira kalau masuk SMK jurusan apa ya? Trus kiat sukses buat jadi entrepreneur apa aja?

Aji: OK, tapi bidangnya apa? Buka resto, dagang mobil, jual baju, or buka TK dan Play Group? Yang mana, give me a clue..

Hani: Nah, Hani bingung di situ.. menentukan bidangnya. Kalau dari pilihan kakak, Hani pilih buka TK dan Play Group.

Aji: Kalau bidang pendidikan harus sarjana, karena tantangannya besar dan beragam. Tidak ada yang dari SMK atau SMA saja. Kalau toh kita punya dana, tetap harus punya rekanan yang punya background Guru atau Psikologi.

Hani: Berarti harus masuk SMA trus lanjutin kuliah Psikologi gitu?

Aji: Ya.. gitu deh jalurnya. Psikologi adalah awal yang bagus untuk terjun di bidang pendidikan anak.

Hani: Trims kak, pulsa ku habis, nanti kapan-kapan Hani boleh nanya-nanya lagi khan?

Aji: OK, boleh nanya-nanya terus kok. No problem. See you next time and tq.


Ya, begitulah kalau ingin jadi entrepreneur (pengusaha) sekolahnya sangat tergantung bidang usaha yang dipilih. Tapi, yang juga penting adalah kemahiran yang terus dilatih dalam hal: kreatifitas, keuangan, negosiasi, marketing, networking, dan tentunya Leadership (kepemimpinan).


BELAJAR MENUJU CITA-CITA

Di bulan Mei 2008 ini, saya sempat bertemu dengan dua orang taruna dari salah satu lembaga pendidikan sebuah departemen. Mereka sedang menjalani pendidikan (kursus) selama 3 bulan. Walaupun hanya 3 bulan, mereka harus memakai seragam (PDH: Pakaian Dinas Harian) kebanggaan ketika keluar kampus. Saya bertemu mereka ketika mereka pulang dari libur akhir pekan.

Mereka bercerita, bahwa sebenarnya mereka lebih suka langsung ikut pendidikan selama 9 bulan tanpa terputus. Jika mereka saat ini hanya ikut selama 3 bulan, berarti nanti akan disambung lagi selama 6 bulan, tapi harus mengikuti dulu PKL (Praktek Kerja Lapangan) di kantor-kantor yang ditunjuk.

Itulah sekelumit perjuangan dua orang dari daerah yang sedang mengejar cita-cita mereka sebagai pegawai negeri sipil yang baik dan kompeten dari sebuah departemen.

Belajar adalah penting dalam menuju cita-cita. Belajar dalam arti yang sangat luas. Belajar secara resmi di sekolah negeri maupun swasta atau belajar secara autodidak (sendiri) atau langsung terjun dalam masyarakat dalam bidang yang dimaksud.

Seorang sepupu saya bercerita bahwa teman SMPnya mempunyai anak, yang kalau ditanya tentang pendidikan Ayahnya selalu malas untuk menjawab. Biasanya si anak dengan enggan akan menjawab: "sekolah Ayahku memang cuma SMP, tapi Ayahku kaya!"

Rupanya sang Ayah adalah salah satu pengusaha kayu dari Sumatera Utara. Di Jakarta, saat ini dia telah mempunyai aset dari hasil kerja kerasnya dalam nilai yang sangat besar, setidaknya ada tanah dan rumah senilai lebih dari satu milyar rupiah.

Jadi memang untuk menjadi kaya tidak harus kuliah. Cukup lulus SMP saja bisa juga!

Namun, yang mungkin terlewatkan adalah bahwa si Ayah telah belajar menambah ketrampilannya dalam hal perkayuan selama mungkin lebih dari 10 tahun sebelum dia mulai merambat sukses. Anda bayangkan jika dia lulus SMP sekitar tahun 1977, kemudian belajar di "hutan kayu" selama 10 tahun, mungkin mulai dari kenek tukang potong pohon dan seterusnya "naik pangkat" hingga menjadi pengusaha sukses. Itu adalah perjalanan yang Hebat Luar Biasa!

Dulu, saya pernah mempunyai bos besar yang ketika awalnya harus belajar dulu di hutan! Benar-benar di hutan di Sumatera. Dia tinggal di barak. Kira-kira, dia termasuk yang membuka lahan di sana. Berpuluh tahun kemudian dia telah berhasil menjadi pengusaha sukses di bidang properti, yang lahannya sebagian besar ada di selatan Jakarta, tepatnya di sepanjang pinggir sungai Pesanggrahan. Lebih hebat lagi, berdasarkan pengalaman saya bekerja mengabdi kepada beberapa orang bos, dialah satu-satunya yang saya kenal yang sangat mendorong karyawannya untuk belajar sambil bekerja. Dia mengijinkan para Drafter untuk kuliah di hari Sabtu, padahal yang lain harus masuk setengah hari. Belakangan saya mendapat kabar bahwa beberapa orang mantan Drafter telah berhasil menjadi Arsitek.

Untuk mencapai cita-cita anda, apakah pada hari ini anda merasa telah cukup belajar ?

Sabtu, 10 Mei 2008

Cita-cita dan Ujian Nasional

Seorang siswa SMP kelas 9 di Cianjur, yang bernama Rz, yang belum mempunyai cita-cita yang jelas, sempat curhat kepada saya via SMS. Ketika itu, beberapa hari menjelang Ujian Nasional untuk SMP. Dia "bercita-cita" untuk lulus Ujian Nasional dengan nilai rata-rata 9!

Nilai itu dia butuhkan untuk dapat mendaftar di sebuah sekolah di Tangerang. Saya pikir, itu adalah nilai yang sangat tinggi. Saya dapat merasakan kekhawatiran dari cara dia menyampaikan SMS-nya.

Saya balas, bahwa dia sebaiknya lebih memfokuskan pada persiapan menjelang ujian, dan meminggirkan dulu kekhawatiran jika nanti tidak diterima di sekolah itu. First thing first! Yang penting dan mendesak adalah persiapan jelang ujian, bukan ketakutan itu. Jadi saya anjurkan dia untuk FOKUS! Nanti setelah keluar nilainya, baru dipikirkan lagi strategi (tepatnya: taktik) selanjutnya.

Pada hari-hari ujian, senja hari menjelang ujian Bahasa Inggris, Rz kembali SMS. Dia tanyakan, bagaimana caranya agar dapat nilai bagus untuk Bahasa Inggris, yang menurutnya dia sangat lemah. Karena sudah sangat mepet, saya hanya menyarankan kepadanya untuk mengambil kamus dan bacaan dalam bahasa Inggris, serta mencatat dan menghafalkan kata-kata yang belum jelas baginya.

Selanjutnya dia bertanya, apakah sebaiknya dia mencontek kepada temannya yang jago Inggris, karena saat ini dia "bercita-cita" untuk mendapat nilai bagus dalam Bahasa Inggris. Tentu saja saya tetap menyarankan untuk tidak usah mencontek dan lebih FOKUS pada sisa waktu yang beberapa jam untuk menghafalkan vocab.

Apakah Rz esoknya mencontek? Mungkin hanya Tuhan, dirinya dan malaikat yang tahu!

Hidup adalah pilihan. Ketika kita memilih dan bercita-cita, dan bersungguh-sungguh melaksanakan cita-cita tersebut, maka Tuhan akan membantu mewujudkan. Ketika kita "bercita-cita" untuk mencontek pada esok hari, dan tidak belajar malam ini, maka sangat mungkin Tuhan akan mengizinkan.

Hal itu sangat mirip dengan orang yang bercita-cita untuk menjadi pegawai negeri karena di sana akan mendapat gaji, tunjangan askes, dll, dan nanti akan mendapat uang pensiun, dan sehari-harinya boleh datang ke kantor jam 10.00 kemudian minum teh/kopi dan gorengan sambil baca koran, lalu kerja sebentar, lalu makan siang, istirahat, lalu kerja lagi sebentar, dan jam 14.00 pulang. Dia memilih, bertekad, melaksanakan dan Tuhan akan mengijinkan apa yang dia "cita-citakan."

Ketika sebuah departemen telah memilih menjadi Departemen KecerDIKan NASional, yang bertekad, dan melaksanakan visi Cerdik tersebut, maka itulah yang insyaALLAH akan terwujud. Kecerdikan (baca: kecurangan) telah menjadi kenyataan.

Hari Minggu ini, sebuah harian terkemuka di sini, memberitakan adanya "perang gerilya" alias "perang kecerdikan" yang dilakukan para guru secara sadar dan terpaksa, agar sebanyak mungkin siswa dapat lulus. Mereka tidak tertangkap. Jika ada berita bahwa di Sumatra ada guru yang tertangkap, berarti mereka tidak cukup cerdik!

Jika departemen tersebut di atas memilih untuk "bercita-cita" membuat sebanyak mungkin siswa "lulus" dengan nilai rata-rata di atas 5,25 dan mereka bertekad dan mewujudkan itu, maka itulah yang akan terjadi. Mereka akan mendapatkan lebih banyak siswa yang lulus, tapi sedikit saja yang jujur! Seandainya mereka "bercita-cita" untuk mendapatkan lebih banyak siswa yang jujur, berakhlak baik dan bertanggung jawab, sangat mungkin cerita dan beritanya akan berbeda. Mereka tidak akan mendapatkan manusia Indonesia yang jujur, berakhlak, berbudi pekerti luhur maupun yang bertanggungjawab, dengan cara seperti ini.

Saya setuju dengan pendapat Pak Arief Rachman, yang lebih mengutamakan kejujuran dan tanggung jawab, walaupun dia banyak diprotes oleh para orang tua. Bahkan dia dianggap terlalu jujur! Menurut saya, JUJUR tidak ada embel-embel TERLALU, karena jujur ya jujur! Saya juga sangat setuju bahwa yang harus diukur dari suatu proses belajar-mengajar adalah aspek afektif, psikologi, budi pekerti akhlak. Jadi, bagaimana cara kita untuk mendapatkan sebagian besar manusia Indonesia yang seperti ini?
(sumber: Kompas dan opini penulis)

Kamis, 08 Mei 2008

Fokus itu Penting, Kenali Diri juga Penting


Seorang remaja yang duduk di kelas 11 di Makassar sedang bingung. Dia duduk SMU jurusan IPA. Namun demikian dia masih sangat bingung, kelak setelah lulus hendak meneruskan entah ke mana. Tadinya, ia ingin menjadi seorang insinyur Sipil, sayangnya dia belum dapat menentukan siapa idolanya. Setelah curhat beberapa saat, dia baru sadar bahwa mungkin dia sangat tidak cocok untuk menjadi insinyur sipil.

Dia sangat tidak menyukai menggambar. Dia baru saja tahu bahwa di Teknik Sipil, Mesin dan lebih khusus Arsitektur, adalah jurusan yang sangat sering mendapat tugas menggambar.

Ya, di teknik sipil, seorang harus dapat menggambarkan sebuah konstruksi, mulai dari bawah, pondasi, naik lagi, konstruksi kolom, balok, dan juga konstruksi atap. Belum lagi jika dikaitkan dengan kerumitan bangunan yang serba moderen, yang sangat kompleks gambarnya.

Demikian pula di teknik mesin. Semester satu dan dua adalah pelajaran pertama menggambar teknik, dan ini adalah pelajaran yang berjilid, jika jilid 1 belum lulus, dilarang mengikuti jilid 2 nya. Setelah itu baru dapat melanjutkan dengan tugas Kopling. Jika tugas ini lulus, baru boleh mengambil tugas Roda Gigi. Setelah itu baru boleh tugas-tugas Pilihan/Akhir. Ini semua berjilid.

Yang paling banyak menggambar adalah jurusan Arsitektur. Ada berjenjang tugas Studio, yang benar-benar ketat, sangat berjilid. Tentu saja harus ada pelajaran tentang perancangan yang harus menyertakan keindahan estetika, tanpa mengurangi fungsi bangunan.

Akhirnya, setelah mengetahui penjelasan tersebut, si remaja mulai berubah pikiran. Mungkin dia akan lebih cocok untuk memasuki jurusan Fisika, bahkan dia mulai tertarik dengan Fisika Nuklir. Mungkin saja itu cocok, karena dia mempunyai cukup kekuatan atau keunggulan di bidang matematika dan fisika.

Jadi fokus akan keinginan dan hasrat atau cita-cita memang penting, namun harus juga membaca kemampuan diri sendiri. Hasrat tanpa cukup bakat mungkin akan dapat membuat seorang berhasil, namun jika hasrat dan minat yang dibekali dengan bakat yang sesuai yang terus diasah, adalah kondisi yang sangat baik.