Kamis, 25 Desember 2008

Bebas Punya Cita-cita, Bebas Pilih SEKOLAH

by Y.S. Aji Soedarsono
25 December 2008


Pada dasarnya Anak-anak dan Remaja bebas untuk punya cita-cita apapun. Yang dimaksud dengan APAPUN adalah segala macam pekerjaan atau profesi yang POSITIF. Seorang anak atau remaja dapat saja punya cita-cita menjadi PENYANYI. Lalu, apakah untuk menjadi penyanyi dia harus belajar ilmu Calculus yang lumayan rumit? Jika anak lain ingin menjadi COOK lalu nantinya menjadi CHEF lalu nantinya lagi ingin punya resto sendiri, apakah dia harus masuk SMU? Jika anak yang lain lagi ingin menjadi atlet bulutangkis atau sepakbola, yang latihannya harus ekstra berat dan ekstra waktu, apakah dia harus masuk sekolah "normal" yang masuk jam 6.30 dan pulang jam 15.00?

Oleh karena cita-cita sangat beragam, bagaimana dengan sekolah anak-anak dan remaja ini?

Sekarang ini ada sangat banyak ragam sekolah. Untuk tingkat SLTA, ada SMU dan ada SMK. Berdasarkan informasi terkini, jumlah SMK akan ditingkatkan, menjadi lebih banyak dari jumlah SMU. Menurut para ahli pendidikan yang melakukan survei, siswa lulusan SMK lebih banyak yang dapat kerja langsung setelah lulus. Persentasenya mencapai 85 persen. Sebaliknya, lulusan SMU, jika yang tidak akan kuliah, maka peluangnya hanya 15 persen untuk dapat kerja setelah lulus SLTA.

Untuk menjadi COOK atau CHEF (nantinya), saya anjurkan masuk ke SMK yang ada jurusan Tata Boga-nya. Setelah lulus, dapat langsung kerja atau meneruskan ke akademi selama 3 tahun untuk jurusan yang sama.

Bagaimana dengan calon Penyanyi dan calon Atlet?

Seorang calon ATLET yang dituntut untuk dapat berlatih minimal 4 jam sehari, mungkin akan sangat kesulitan untuk dapat hidup dengan pola sekolah yang masuk pagi dan pulang sore (normal). Mereka ini membutuhkan fleksibelitas atau kelenturan dalam jadual belajar. Apalagi, zaman sekarang, seorang anak harus memelajari 16 hingga 18 pelajaran dalam satu semester! Apakah semuanya diperlukan oleh calon ATLET? Tentu saja tidak.

Demikian pula dengan Calon Penyanyi. Dia harus rajin berlatih vokal: pagi, siang, sore dan ditambah dengan latihan salah satu alat musik. Apakah mereka wajib ikut sekolah yang normal? Jika mampu dan mau, tentu saja boleh, tapi tidak wajib.

Sekarang, sudah ada sekolah alternatif yang dapat ditempuh oleh mereka yang sangat sibuk dengan jadual latihan (ini juga salah satu bentuk sekolah/pendidikan) apakah olahraga atau latihan vokal. Sekolah ini sering disebut dengan HOME SCHOOLING atau Sekolah Rumah, atau disingkat jadi HS. Di Indonesia, pelajaran yang disampaikan, diusahakan merujuk pada pelajaran Paket A untuk SD, Paket B untuk SMP dan Paket C untuk SLTA. Tentunya, mereka tidak perlu belajar 16 atau 18 pelajaran! Setelah lulus Paket C, mereka dapat diterima untuk kuliah di UGM, Jogja atau di universitas di luar negeri.

Tapi, bagaimanapun selalu saja ada kelemahan, sebagaimana kelemahan juga ada pada sekolah "normal." Ramai orang berkata bahwa anak-anak HSer akan menjadi orang yang tidak pandai bersosialisasi. Mungkin benar, mungkin tidak. Sebagaimana anak-anak sekolah "normal" dapat juga terkontaminasi karena menjadi remaja yang "sangat sosial."

Jadi, bagaimana baiknya?

Tentu, yang terbaik adalah yang paling sesuai dengan keunikan anak atau remaja yang menjalani. Orang dewasa hanya perlu membimbing untuk dapat membantu mereka menentukan cita-cita yang sangat mereka inginkan, lalu menunjukkan alternatif cara atau pendidikan yang paling tepat dan cocok bagi mereka untuk mencapai cita-cita itu. SETUJU?

Minggu, 21 Desember 2008

REMAJA Punya Cita-cita Lebih Tanggung-jawab

by Y.S. Aji Soedarsono
21 Desember 2008


Pada kesempatan ini, saya hanya ingin berbagi pengalaman. Yaitu bahwa dari beberapa klien remaja yang saya tangani, ternyata saya dapat mengambil kesimpulan bahwa Remaja yang punya cita-cita akan lebih bertanggung-jawab dalam bertindak. Para REMAJA yang saya maksud ini menjadi BERBEDA dengan Remaja kebanyakan.

Mengapa Remaja yang punya cita-cita menjadi lebih bertanggung-jawab?
Dalam hal apa saja mereka bertanggung-jawab?

Seorang klien remaja saya di Bandung, yang masih duduk di kelas 12, karena dia menyadari betapa tingginya mimpi atau dream yang dia canangkan, dan dia juga menyadari betapa orangtuanya tidak akan mampu membiayainya, telah menjadi remaja yang berbeda dari teman-temannya.

Di kelas 12, setelah pulang sekolah dia menyempatkan diri untuk mencari tambahan uang yang nantinya akan dipakai untuk Perguruan Tinggi. Dia menabung. Di samping itu, dia juga rajin mencari info tentang lembaga-lembaga yang menyediakan beasiswa bagi mahasiswa yang tidak mampu.

Seorang remaja lain yang duduk di kelas 9, yang punya cita-cita menjadi Pemain Bola, juga telah menjadi BERBEDA dengan rekan-rekannya yang lain. Dia sudah dapat menjawab dengan TEPAT, ketika ditanyai:"Umur 57 kamu jadi apa?"

Jawabannya:"Saya jadi Pelatih Bola!"

Dia juga telah paham, bahwa dia harus mengikuti berbagai kegiatan yang menunjang dirinya untuk menjadi pemain bola, namun dia pun tahu bahwa dia harus dapat menyelesaikan tugas-tugas belajarnya untuk lulus SMP, dan dia pun sudah mempunyai bayangan akan masuk ke SMU yang mana. Tentu dia mencari SMU yang paling menjanjikan untuk seorang Pemain Bola.

Contoh nyata yang lebih "ngetop" adalah seorang David Beckham yang berusia 11 tahun, telah sangat mengetahui apa yang dia inginkan. Dia ingin menjadi Pemain Sepakbola di Klub Manchester United. Dia pun berlatih sangat super giat sekali. Dia memenangkan trofi pemain anak berbakat di Inggris. Dia berlatih lebih giat daripada remaja lain di kelas kursus bola tengah tahun (summer course), ketika usia 16 tahun. Ketika teman-temannya telah beristirahat, dia masih berlatih setidaknya satu jam lagi. Ketika teman-temannya telah pulang kampung setelah masa kursus, dia masih tinggal beberapa hari lagi berlatih sendiri di MU camp.

Seorang remaja yang punya cita-cita yang jelas, akan berusaha mencari IDOLA yang jelas pula. Dia pun akan mencoba membuat jadual kegiatan sehari-hari yang paling menunjang tujuannya. Dia membuat Rencana Aksi yang akan dilaksanakannya. Dia pun akan melaksanakan rencananya itu dengan lebih bersungguh-sungguh.

Bagi para remaja ini, tidak ada istilah waktu luang yang akan dipakai untuk sekadar bersenang-senang saja. Pada dasarnya, para remaja yang punya cita-cita ini hanya akan senang jika Cita-citanya tercapai. Itulah yang dia tuju. Anda SETUJU?

Jumat, 05 Desember 2008

Cita-Cita, Orang Tua vs Remaja

by Y.S. Aji Soedarsono
5 December 2008


Dalam beberapa kasus yang harus saya hadapi, sesuatu yang sangat menonjol adalah adanya perbedaan yang lebar antara cita-cita para remaja dengan cita-cita yang dibuat oleh orang tua bagi anak-anak mereka. Ada kondisi di mana remaja mengalah demi berbakti kepada ortu mereka. Namun, ada kasus di mana si remaja berkeras untuk mencapai cita-citanya sendiri meskipun sangat ditentang oleh ortunya.

Sampai-sampai, si remaja membuat pernyataan, untuk membesarkan hatinya sendiri, kira-kira seperti ini:"Tetaplah pada cita-citamu walaupun orang tua kita tidak percaya bahwa kita dapat mencapai apa yang kita mau. Kita harus yakin bahwa kita bisa..."

Dalam kasus yang lain, si remaja dengan pasrah berkata:"Pak, khan kalau kita mengikuti apa yang dikatakan orang tua berarti kita berbakti kepada mereka..."

Yang PALING menarik, ternyata para remaja mengaku bahwa sangat mungkin orang tua mereka tidak mengetahui apa kelebihan atau kehebatan anak-anak mereka. Pada kasus pertama si remaja bahkan berkali-kali bertanya kepada saya:"Pak, kok bisa ya .. orang tua saya tidak tahu kelebihan dan kehebatan saya?"

Jadi, cita-cita yang disodorkan oleh ortu bagi anak-remaja mereka adalah sesuatu yang sangat IDEAL, bagi para orang tua, walaupun belum tentu IDEAL bagi remaja yang menjalaninya.

Bagaimana sebaiknya menjembatani kedua macam kasus seperti ini?
Apa pertimbangan orang tua dalam menyodorkan cita-cita?

Nyaris PASTI, para ortu menyodorkan sesuatu yang nantinya akan memberikan kesejahteraan bagi anak-anak mereka. Ada orang tua yang melihat bahwa menjadi PEGAWAI NEGERI akan menjadikan anak-anak mereka SEJAHTERA, dapat ASKES,dan dapat PENSIUN. Ada ortu yang memikirkan masalah BIAYA yang mahal kalau misalkan anaknya kuliah di Fakultas KEDOKTERAN. Ada orang tua yang bilang bahwa kalau anaknya masuk STAN, nanti "PASTI" sejahtera, dlsb.

Dalam masalah biaya, yang mengherankan, para ortu tidak terlalu mendorong anak-remaja mereka untuk BERJUANG mencari BEASISWA, dalam keadaan ortu yang "kurang mampu." Para ortu lebih condong dan lebih sering berkata:"JANGAN masuk ke situ, biayanya MAHAL!" Bukankah lebih POSITIF jika para orang tua mengatakan:"AYO, kalau kamu mau masuk ke situ, cari BEASISWA. BERJUANGLAH untuk mendapat nilai bagus supaya kamu mudah mendapat BEASISWA! Carilah yayasan-yayasan yang menawarkan BEASISWA!"

Hal yang menarik kedua, para ortu tidak MAU belajar untuk PEKA terhadap apa yang menjadi KEHEBATAN atau GREATNESS anak-anak mereka. Mungkin karena sangat super sibuk, mereka dengan mudah berkata:"wah ... apa ya kelebihan si Anu? saya nggak terlalu merhatiin."

Sebenarnya, untuk menambah kepekaan kita sebagai orang tua masih sangat mungkin. Yang perlu kita lakukan adalah "membandingkan" dengan anak orang lain. Kita lihat kemampuan anak kita, lalu kita bandingkan dengan anak orang lain. SUDAH!

Namun, ada juga yang sudah "membandingkan" tapi yang dibandingkan hanya "KEJELEKAN" anaknya sendiri. Seorang kenalan, seorang wanita, ketika bercerita tentang anaknya, dia berkata:"Wah..anak saya nggak bisa diam, jadi mengganggu terus. Dia juga suka lupa, bahkan tanggal lahirnya aja dia suka lupa"

Namun, setelah saya desak, si ibu ini akhirnya MAU berpikir keras untuk mencari kelebihan anaknya, lalu bilang:"oya.. dia itu punya bakat nyanyi, senang ARTS, dan pernah bercita-cita untuk menjadi bintang TV macam yang di ART ATTACK!" Jadi, kesimpulan tentang kepekaan ORTU, kuncinya adalah mau mengubah paradigma melihat KEJELEKAN anak menjadi melihat KEHEBATAN anak.

Lalu, bagaimana menjembatani perbedaan cita-cita milik anak dengan cita-cita yang disodorkan oleh orang tua?

Kuncinya adalah: DISKUSI!

Sudah berapa seringkah orangtua berdiskusi tentang kelebihan anak mereka dengan si YBS (yang bersangkutan). Lalu, dilanjutkan dengan mencari tahu cita-cita mereka, lalu mencoba mencari solusi, tanpa harus memaksakan kehendak. Saran saya, pada saat remaja telah duduk di kelas 9 (3 SMP), lakukanlah sesering mungkin. Karena, setelah lulus SMP, sudah harus memilih apakah mau masuk SMK atau SMU. Jika terlambat, berarti anak anda sudah MEMASUKI jalan tertentu tapi mereka tidak tahu mereka sebenarnya mau KEMANA.

FYI, untuk SMK, setelah lulus, menurut data tahun lalu, 85 persen akan langsung masuk dunia kerja, karena mereka telah punya SKILL. Dan, mereka tetap punya kesempatan untuk kuliah pada bidang-bidang yang sesuai.

Punya waktu untuk DISKUSI?