Jumat, 29 Mei 2009

Cita-Cita: KULIAH Apa Aja Deh...

by Y.S. Aji Soedarsono
29 May 2009


Beberapa minggu yang lalu, seorang bapak dari 3 orang remaja menuturkan kepada saya bahwa dengan situasi dan kondisi dunia pendidikan di Indoneisa seperti sekarang ini, dia mencoba realistis dengan apa yang dihadapi oleh 3 anaknya. Dia tidak ingin memaksakan berapa nilai yang harus dicapai oleh mereka. Dia tidak ingin memaksakan jurusan IPS atau IPA bagi anak-anaknya. Bahkan lebih dari itu, dia mengijinkan anak-anaknya saat lulus SMA untuk kuliah apa saja, yang penting kuliah.

Mengapa dia mengatakan seperti itu?
Apakah banyak orangtua yang bersikap seperti itu?
Lalu, bagaimana dengan cita-cita anak-anak mereka?

Tapi, itu belum selesai. Dia menambahkan bahwa nanti setelah lulus sarjana di Indonesia, dia akan mengirimkan anak-anak mereka untuk kuliah di LUAR NEGERI. Hal itu dia wajibkan untuk "menutupi" kekurangan selama kuliah di dalam negeri. Jadi, bagaimanapun dia menganggap bahwa kuliah di dalam negeri adalah belum cukup.

Sehingga, pada akhirnya, ijazah yang terakhir, yang dari luar negeri itulah yang akan dipakai untuk "mencari kerja" di dalam negeri atau luar negeri. Walaupun situasi global sekarang ini "sangat menantang," diharapkan 5 hingga 10 tahun mendatang situasi global sudah pulih kembali.

Bagaimana dengan cita-cita anaknya?
Tentunya dia ingin kuliah "apa saja" di Indonesia adalah yang sesuai dengan cita-cia anaknya, jika sudah punya. Jika anaknya belum punya cita-cita, nanti dia dan sang istri akan menyarankan kuliah apa yang mungkin murah dan mudah untuk lulus.

Ada berapa banyakkah orang tua yang seperti bapak itu?
Pastinya hanya Tuhan yang tahu. Mungkin ini adalah sebagian dari respons para orang tua terhadap situasi dunia pendidikan di Indonesia.

Apakah anak-anak mereka akan lulus dengan mudah di kampus "apa saja" ini? Rasanya tidak. Karena, belum tentu mereka menyukai bidang yang disodorkan oleh para orang tua. Atau, mereka tidak bersemangat karena bidang itu memang bukan bidang yang mereka jadikan cita-cita.

Jadi bagaimana sebaiknya?
Menurut hemat saya, sebaiknya, sebagai titik tolak untuk memilih kuliah adalah Cita-cita si remaja. Bagaimanapun, remaja dan orang tua harus berdiskusi dengan intensif tentang apa yang diinginkan anak (baca: cita-cita), bakat anak dan seberapa mampu para orang tua untuk membiayai perkuliahan. Jika ternyata tidak mampu, sebaiknya mereka menyarankan untuk mencari beasiswa, atau menyarankan untuk bekerja dulu sambil menabung. Untuk mendapatkan beasiswa itu berarti mereka harus mempunyai nilai yang bagus. Nilai yang bagus dapat dicapai jika anak memang berbakat dan mau, atau SEDIKIT berbakat tapi MAU berusaha SANGAT KERAS untuk belajar.

Minggu, 24 Mei 2009

Cita-Cita: PETANI Polikultur Organik

by Y.S. Aji Soedarsono
24 May 2009


Dia bukan petani biasa. Lahan pertaniannya ada di Sumatera Utara. Namanya JUNAIDI GINTING. Dia adalah petani yang LUAR BIASA. Dia bukan sekadar petani yang hanya menanam, memupuk dan memanen. Dia melakukan percobaan dalam menanam pohon KAKAO.

Percobaan apa yang dia lakukan?
Hal luar biasa apa lagi yang dia lakukan?

Dia adalah petani PENELITI. Dia membagi lahannya menjadi beberapa bagian yang dia tanami KAKAO dengan cara yang berbeda. Dia mencatat dan mengamati proses yang terjadi dan juga mencatat hasil panennya. Ada yang dipupuk saja tapi tidak dipangkas daunnya. Ada yang dipangkas saja daunnya namun tidak dipupuk, dan beberapa metode lainnya. Ternyata hasilnya, yang dipangkas dan tidak dipupuk lebih banyak dan lebih baik mutunya. Selanjutnya, dia menanam dengan metode yang paling baik jumlah dan mutunya.

Bukan hanya itu, dia juga menanam beberapa pohon yang menyelingi tanaman kakaonya. Antara lain ada pohon Durian yang menaungi dan dapat menghasilkan panen buah. Ada juga tanaman pengusir hama, sehingga hama malas untuk berkunjung di kebunnya. Dia tidak memakai antihama kimia. Dia melakukannya secara organik.

Setelah berhasil, ternyata banyak rekan petani lainnya yang tertarik menerapkan apa yang dia lakukan. Itulah sebabnya, dia kemudian menjadi MENTOR bagi para petani lainnya. Dia berbagi dengan para petani lainnya semua pengalaman yang telah dia lewati.

Karena dia pernah mengalami dan melakukan semua prosesnya sendiri, maka semua yang dia ucapkan sangat diyakini oleh petani lain. Alhasil, hasil KAKAO di desanya meningkat tajam jumlah dan mutunya.

Dengan menerapkan penelitian, yang dalam bahasa Kendali Mutu disebut PDCA, Plan Do Check Action, Junaidi Ginting telah menemukan cara yang paling cocok untuk berkebun KAKAO di desanya. Selain itu dia juga mengembangkan proses yang organik tanpa antihama kimia sehingga lebih aman.

Bagi anda yang berjiwa PETANI dan bercita-cita meningkatkan produksi dan mutu hasil tanaman kita, dapat menirukan apa yang telah Junaidi lakukan. Jika banyak anak muda Indonesia melakukan hal ini, niscaya kita segera dapat menyaingi segala macam buah dan tanaman yang berbau "BANGKOK." Anda MINAT?

Senin, 18 Mei 2009

Cita-Cita: Planolog/Arsitek yang Memahami Kelautan

by Y.S.Aji Soedarsono
18 May 2009


Beberapa hari yang lalu, baru saja usai WOC, World Ocean Conference. Acaranya diadakan di Manado, kota yang penuh kenangan bagi saya. Ketika saya kanak-kanak, selama 2 tahun saya habiskan di sana, dari kelas 0 hingga kelas 1 SD, tahun 1971-1972.

Konferensi tentang Lautan adalah yang pertama kali dilakukan sepanjang sejarah umat manusia moderen di bumi. Jadi, sekali lagi Indonesia menorehkan sejarah yang akan tercatat selamanya. Konferensi ini menguatkan dan mempertajam serta melengkapi BALI ROAD MAP yang dilaksanakan tahun 2007.

Namun, ternyata, ada ironi di balik semua itu. Ternyata, di kota Manado sendiri, terdapat kenyataan baru, di mana masyarakat nelayan yang menderita akibat dibangunnya jalan lintas tepi pantai di sepanjang pantai Manado. Kini, mereka harus menyeberang jalan untuk mencapai pantai untuk melaut, dan anehnya, tidak ada tempat yang baik untuk menambatkan perahu mereka. Bahkan, mereka harus mengemis kepada pemerintah daerah untuk dibuatkan batu pemecah ombak agar dapat dijadikan tempat menambatkan perahu mereka.

Dari beberapa kejadian di mana atas nama pembangunan, beberapa wilayah laut harus menjadi korban, antara lain pengurugan pantai yang tentunya menghancurkan ekosistem airlaut, termasuk koral yang berharga.

Mengapa banyak Planolog dan Arsitek yang tidak memerhatikan pentingnya ekosistem laut? Apakah mereka benar-benar telah membuat AMDAL untuk melaksanakan hal itu?

Saat ini, para DESAINER apapun di muka bumi harus memerhatikan dampak dari desain yang mereka buat. Seorang ahli desain barang alat kerja harus memerhatikan apakah karyanya nanti akan menambah sampah yang tidak dapat terurai, seperti plastik. Seorang ahli desain furnitur harus memerhatikan apakah nanti banyak material kayu yang terbuang dari hasil desainnya yang banyak lengkung dan lingkaran.

Demikian pula dengan Planolog/Arsitek, apakah karya mereka nanti akan menghancurkan ekosistem air laut yang merupakan 2/3 bagian bumi ini. Ketika sudah banyak yang berkampanye tentang HIJAUKAN BUMI, maka sudah pada tempatnya untuk melakukan pula kampanye BIRUKAN LAUT.

Keseimbangan alam darat dan laut harus dijaga dengan baik. Jika saat ini manusia di muka bumi sudah merasakan akibat pemanasan global, saat ini pula mereka harus memelajari apa saja manfaat lautan yang keseimbangan ekosistemnya terjaga. Ketika hutan hujan tropis menjadi penyerap karbon dioksida di daratan, maka tumbuhan laut juga melaksanakan tugas yang sama di bawah permukaan air laut. Mereka adalah penghasil oksigen di alamnya masing-masing.

Masih banyak ilmu yang harus dipelajari oleh Planolog/Arsitek, selain masalah ilmu tanah, ilmu struktur, ilmu mekanika teknik, ilmu gambar teknik, ilmu gambar indah dll. Ilmu kelautan harus lebih banyak dipelajari oleh mereka. Menjadi Planolog/Arsitek bukan sekadar menjadi ahli teknik dan desain. Banyak disiplin ilmu lain yang sangat terkait, termasuk dampaknya, dalam jangka panjang, terhadap hasil karya mereka nantinya.

Sebelum memulai pembangunan yang diduga akan berdampak bagi lingkungan, apalagi dalam jangka panjang, wajib dilakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, AMDAL. Ada lembaga tertentu yang akan menghitung kemungkinan kerusakan yang diakibatkan oleh suatu proyek pembangunan dan kelanjutan operasionalnya. Jika sudah nyata bahwa kerugian yang lebih banyak terjadi daripada keuntungannya, sebaiknya investor tidak memaksakan maksud-maksud ekonominya di lokasi tersebut.

Ketika sumber daya di bumi semakin terbatas, saatnya untuk lebih menjaga kelestarian alam. Siapapun berhak dan wajib untuk menyelamatkan bumi. Anda MAU?

Rabu, 13 Mei 2009

What is your CONTRI to your COUNTRY?

by Y.S. Aji Soedarsono
13 May 2009

Kira-kira tiga minggu yang lalu, di atas busway, saya berkenalan dengan seorang ibu yang luar biasa. Kami berkenalan dan langsung, tanpa saya tanya, dia menyatakan umurnya, padahal menurut ilmu sopan-santun, adalah bijaksana untuk tidak menanyakan umur kepada seorang "lady." Dia menyatakan bahwa dia lahir tahun 40-an, berarti sudah berusia 60-an tahun.

Rupanya, dia adalah sarjana teknik lulusan sebuah institusi terkenal di Bandung. Kemudian dia mengabdi di lembaga pemerintah yang mengurusi pengairan dll. Pada tahun 1980-an, dia mendapatkan beasiswa untuk mengambil gelar master di Delft, Belanda. Setelah lulus, kembali ke tanah air dan melanjutkan pengabdian di lembaga tempatnya bekerja dulu. Kini, dia sudah pensiun.

Setelah ngobrol sana-sini, sayapun bertanya,"Wah hebat ya bu.. kalau begitu sudah banyak ya buku dan tulisan ibu?"

Dengan serta-merta dia menjawab:
"Wah.. gimana ya dik,... saya ini sibuk banget kerja untuk cari duit untuk anak-anak saya. Suami saya juga begitu." Dengan apologia dia menambahkan,"Jadi ya maaf, saya belum nulis buku.."

Lain cerita si ibu tadi, lain pula cerita seorang pemuda.

Di sebuah tayangan TV, dengan dipandu oleh bung Andy, seorang pemuda kira-kira usia hampir 40-an, diwawancarai, karena dia berprestasi sebagai seorang pembuat desain dan telah memasarkan radio yang unik.

Pemuda ini adalah sarjana desain lulusan Bandung juga. Letak keunikan radio temuannya adalah pada konsepnya. Konsepnya yang pertama adalah mendekatkan sang pemilik dengan radio itu. Kedua, bahan yang dia pakai adalah kayu sengon dan pinus. Untuk komponennya, standar. Radio yang dia buat, dipasarkan di Eropa, Amerika Utara dan Jepang. Di Eropa, sebuah radionya dipatok dengan harga sekitar 160 Euro.

Dalam desainnya, dia membuat sistem tuning yang analog, manual, bukan digital, dan tanpa remote. Bahkan, salah satu desainnya, tidak terdapat tampilan indikator apapun. Jadi, sang pemilik harus mencari-cari frekuensi radio yang dia mau dengan memakai "feeling." Hebatnya, desainnya mendapat penghargaan di Jerman. Salah satu keunggulannya, suara yang dihasilkan lebih baik dari radio plastik, karena bahan "casing"nya adalah dari kayu, yang merupakan media akustik speaker yang paling baik.

Bukan hanya itu, secara ekologis, desainnya juga lebih "ramah" lingkungan. Kok bisa ya? Khan .. pakai kayu? Ternyata, dalam setahun dia "hanya" memerlukan 100 pohon sengon dan pinus, namun, pada saat yang sama, dalam setahun itu, dia membagikan 8000 benih sengon dan pinus gratis kepada petani setempat untuk ditanam sebagai pengganti yang telah ditebang. Jadi, dia punya saldo 7900 pohon setiap tahun.

Akhirnya, jika anda bertanya-tanya tentang istilah CONTRI yang saya pakai pada judul, maka anda akan segera mengerti bahwa yang saya maksud adalah CONTRIBUTION. Jadi, saya memang sedang menanyakan kepada anda apakah KONTRIBUSI anda kepada NEGERI ini.

Anda ingin seperti si Ibu atau si PEMUDA?

Senin, 04 Mei 2009

Cita-Cita Kami yang Jadoel, maka Jadilah Kami ..

by Y.S. Aji Soedarsono
4 May 2009


Jumat malam minggu lalu adalah sejarah bagi saya pribadi. Jumat sorenya, sekitar jam 17.00, ada teman SD ketika dulu di Surabaya menelepon. Dia sebenarnya berdinas di Pacitan namun sedang tugas ke Jakarta. Dia memberitahukan bahwa malam jam 19.00 akan ada Reuni kecil teman-teman SD. Tempatnya adalah di Senayan City. Wow, TGIF! Jumat malam adalah waktu yang tepat untuk "nongkrong" bareng.

Saya memang bukan lulusan SD Surabaya, namun saya sekolah di SD itu dari kelas 2 hingga kelas 5, yang mana satu angkatan hanya ada 1 kelas, jadi kami selalu satu kelas selama tiga tahun lebih saya di sana, hingga bagian awal kelas 5. Saya merasa hanya sebagai "the missing link" dalam kelompok "alumni SD" tersebut. Alhamdulillah, 9 orang terkumpul.

Di antara mereka, hanya satu yang saya tidak "pangling," yaitu tetangga sebelah kiri rumah "longkap" satu. Yang lainnya sudah banyak berubah. Saat itu pula, saya mulai mengenal mereka lagi. Ada 3 orang rekan wanita yang rupanya semuanya insinyur pertanian. Ada yang sarjana teknik yang bekerja di pabrik semen, ada yang inspektur di Departemen Keuangan. Ada pula yang mengaku "ngene-ngene ae" (gini-gini aja). Ada yang sarjana teknik, yang lebih suka nulis dan kasih training motivasi. Namun, itulah kami.

Apakah cita-cita kami saat dulu kami di SD?

Seingat saya, hingga kelas 5, saya tidak pernah dengan jelas mendapatkan "pernyataan cita-cita" dari teman-teman. Namun, ada beberapa hal menonjol yang merupakan keahlian teman-teman saya.

Ada yang tiap tahun ikut lomba menyanyi antar kelas, namun Jumat malam di cafe di Senayan City, dia sangat enggan untuk menyanyi, dia enggak PD. Dulu, ada teman yang sering jadi Ketua Kelas, dan sering menangkis "pukulan sayang" dari guru kami, yang akhirnya dia menjadi Polisi, dan Kapolres di sebuah kota di Jawa Barat. Ada yang dulu jadi juru bicara saat Lomba Cerdas Cermat di TVRI, yang ternyata kini menjadi manajer (dia salah satu yang Insinyur Pertanian) sebuah perusahaan besar. Ada yang dulu sangat atletis, sangat cepat larinya, sekarang mengaku "gini-gini aja" dalam bisnisnya. Ada yang sering juara kelas, dan kini menjadi inspektur di Departemen Keuangan. Yang lebih tidak jelas hubungan antara cita-cita dengan kenyataan kini adalah, bahwa ada yang dulu bercita-cita menjadi penyanyi, namun dia ternyata berpendidikan Sarjana Teknik, namun kini lebih menyukai masalah motivasi dan kecerdasan!

Namun, yang luar biasa, ada teman yang dulu mengaku "medioker" (kemampuan sedang-sedang saja) dan dulu sempat saya ajak "mojok" di bawah pohon dekat sawah, saat pelajaran berkebun, lalu dimarahi pak guru, ternyata sekarang menjalankan usaha agensi untuk "melejitkan brand" beberapa perusahaan. Kawan saya ini dulu sempat dongkol kepada guru kami. Dulu, sebelum saat pulang, guru kami sering memberi pertanyaan dan bagi yang dapat menjawab dengan benar, boleh keluar, pulang duluan. Suatu saat, teman saya yang satu ini menjawab pertanyaan dengan BENAR, namun sang guru tidak mengijinkannya pulang duluan. Dia jadi dongkol, dan karena sangat kecewa, dia tidak mau beranjak dari kursi hingga seluruh siswa kelas kami keluar. Dan, yang luar biasa, teman saya ini sudah pandai menganalisis situasi yang terjadi saat itu, bahwa ada diskriminasi antara siswa PANDAI dan siswa MEDIOKER ke bawah.

Mungkinkah, apa yang dia kerjakan saat ini adalah upaya "membayar" (payback) atas semua peristiwa dulu itu? Apakah itu sebagai sebuah motivasi yang positif?

Mungkin YA dan mungkin TIDAK.

Bagaimanapun, itulah para anak-anak SD tahun 1970-an, yang tentunya cara bervisinya adalah versi JADOEL, sehingga kini, kami menjadi seperti ini. Ada deviasi yang besar dan lebar. Oleh karenanya, bagi yang masih muda, sebaiknya cara-cara yang JADOEL dalam bercita-cita digantikan dengan cara yang SMART: Specific, MEGA, Achievable, Recognizable, dan mempunyai Time framed. MAU?