Kamis, 20 Mei 2010

UJIAN NASIONAL

by Yudistira S.A. Soedarsono
20 Mei 2010


Pada bulan April 2010, saya diajak oleh seorang penggiat pendidikan di Jawa Tengah, tepatnya di kota Tegal untuk menjadi "peninjau" pada saat pelaksanaan UN SMP. Pagi itu yang menjadi target ada 4 buah sekolah SMP atau sederajat di selatan kota SLAWI.

Setelah berliku-liku menumpang kendaraan melalui jalan aspal sempit, sampailah kami di sekolah yang pertama. Demikian seterusnya, melalui jalan yang juga berliku dan sempit, melalui perkampungan dan persawahan sampai kami di 2 sekolah lainnya, sementara yang satu lagi agak ke dekat kota Slawi.

Ada nuansa yang nyaris seragam yang dapat saya tangkap di setiap sekolah yang kami kunjungi. Ada ketegangan yang nampak di setiap wajah Kepala Sekolah. Ketegangan menjadi sangat NYATA, ketika salah satu anggota rombongan penilik (rombongan yang saya "ikuti")bertanya:
"Jadi berapa Pak/Bu, target kelulusan di sini?"

Jawabannya cukup mirip dari satu Kepsek dengan lainnya. Mereka mengatakan tentu harapan sangat tinggi. Apakah mungkin mereka menjawab "target angka yang rendah" di hadapan bapak-bapak penilik?

Salah seorang Ibu Kepala Sekolah, bahkan secara nyata ingin agar sistem di kembalikan ke semula memakai EBTANAS, karena toh, saat akan masuk ke jenjang yang lebih tinggi masih ada lagi ujian masuknya.

Saya sangat setuju dengan sikap MAhkamah Konstitusi yang lebih mengarahkan agar segala prasarana dan sarana penunjang dilengkapi lebih dulu sebelum UN yang berstandar nasional diberlakukan.

Melihat situasi dan kondisi di mana SISWA, GURU dan ORANGTUA menjadi sangat tertekan pada pekan UN, khususnya di kalangan sekolah yang bukan unggulan, yang menjurus kepada tindakan yang tidak terpuji bersama-sama (tindakan tidak terpuji berjamaah), maka saya lebih setuju jika UN dibekukan dulu, sambil menunggu SELURUH prasarana dan sarana pendidikan terdistribusi merata di bumi Indonesia.

Saya tidak terlalu heran jika saat pengumuman, bagi yang tidak lulus menjadi sangat terpukul. Penantian yang lama dan usaha keras sepanjang tahun terakhir seolah sia-sia dan bumi bagaikan berhenti berputar!

Sebuah pengukuran statistik TIDAK BOLEH menentukan TARGET hasil. Ketika kita menargetkan, maka kita sudah terjebak dalam pola rekayasa hasil. Jika UN dimaksudkan untuk standardisasi, maka yang MENDESAK dan PENTING untuk distandardisasi adalah PRASARANA dan SARANA Pendidikannya. Seharusnya UN adalah sebagai Umpan Balik yang tidak harus menentukan kelulusan siswa. Biarlah guru mereka masing-masing yang menentukannya dengan memerhatikan aktifitas siswa selama bersekolah.

Ketika sebuah sekolah dengan bangga menyatakan bahwa 100% siswanya lulus UN, maka masih perlu dikalikan dengan angka KOEFISIEN KEJUJURAN. Oleh sebab sangat penasaran, saya melakukan survei kecil di Jakarta Selatan, dengan sekitar 70an responden. Hasil sementaranya, 25 persen para siswa yang 1-2 tahun lalu ikut UN SMP melakukan tindakan MENCONTEK! Adakah pihak lain yang juga melakukan survei semacam itu? Kalau ada, saya sungguh ingin mengetahui hasil surveinya.

Ketika 20 persen anggaran diarahkan dalam bidang pendidikan, maka itu seharusnya dapat menjadi PRASARANA dan SARANA pendidikan yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Ketika itu semua sudah terstandardisasi, maka saya berargumentasi bahwa jika sama-sama jujurnya, maka hasil UN setelah PRASARANA dan SARANA standar pasti akan lebih baik.

Anda SETUJU?