Rabu, 21 Mei 2008

CITA-CITA BAGAIKAN BOLA

Pagi ini saya baru saja menyaksikan final kejuaraan Champions Cup Sepakbola Eropa, tahun 2008. Manchester United berhasil menjadi juara. Chelsea nyaris menjadi juara. Christiano Ronaldo yang gagal mencetak gol dalam adu penalti sempat menangis. John Terry yang juga gagal mencetak gol dalam penalti juga menangis, tapi lebih panjang tangisannya. Christiano Ronaldo terlihat ragu-ragu sebelum menendang bola sehingga bola dapat ditepis, sedangkan Terry terpeleset sehingga arah bola melenceng dari gawang.

Kedua belah pihak menangis, yang satu sedih, yang lainnya gembira.

Walau bagaimanapun, para pemain dari kedua belah pihak, setidaknya telah mencapai salah satu cita-cita mereka, yaitu menjadi pemain profesional di klub sepak bola yang kaya-raya: MU dan Chelsea. Bukankah setiap pemain sepakbola pro selalu punya keinginan seperti itu?

Ketika mereka masih muda belia, pasti bercita-cita untuk menjadi pemain yang pro yang tergabung di klub yang elite. Ketika telah bergabung di klub yang elite, mereka bercita-cita untuk menjadi juara dalam setiap kompetisi dan pertandingan liga.

Ketika tengah bermain, mereka mengejar-ngejar si bola bulat. Ketika telah dekat, bola itu malah ditendang menjauh. Yang menarik, bolanya cuma satu, yang berebut ada 22 orang.

Tahukah anda bahwa cita-cita juga seperti bola bulat? Bulat adalah lambang kesempurnaan bentuk geometris ruang. Kalau anda perhatikan, tidak ada sudut dalam sebuah bola bulat. Berbeda dengan kubus, yang memiliki 8 sudut. Berbeda dengan lambang keabadian yaitu piramida yang mempunyai setidaknya 4 atau 5 sudut, tergantung bentuk alasnya. Tapi si bola bulat sungguh sempurna, tanpa sudut.

Cita-cita juga demikian adanya. Dia adalah lambang kesempurnaan dalam hidup seseorang. Seorang yang telah dewasa, biasanya antara usia 35 hingga 40 tahun akan bertanya-tanya pada dirinya sendiri,"Apakah semua cita-citaku telah tercapai?" atau "Mengapa hingga saat ini hidupku belum bermakna?"

Ada juga seorang yang berusia 55 tahun, yang berkata kepada dirinya sendiri,"Seandainya aku dulu melakukan ini dan itu, mungkin aku dapat mencapai cita-citaku sejak kecil dan hidupku menjadi lebih bermakna."

Cita-cita adalah sesuatu yang belum tercapai, karena ketika telah tercapai, itu tidak lagi kita anggap sebagai cita-cita, namun sebagai sebuah kenyataan atau realita. Untuk dapat menambah semangat lagi, seseorang yang telah mencapai cita-citanya harus membuat cita-cita baru. Sama seperti bermain sepakbola, ketika telah ada di kaki kita, kita akan menendang ke arah lain, untuk kita kejar lagi.

Bola juga adalah lambang perjuangan. Untuk mencapai kesempurnaan bentuk, bola kulit haruslah dipompa dengan tenaga yang tidak sedikit. Semakin banyak angin dipompa, semakin keras bola dan semakin sempurna bentuknya. Namun, tidak boleh berlebihan dalam memompa, karena jika berlebihan maka dia ada meledak, sehingga hilanglah kesempurnaan tadi.

Cita-cita pun demikian, adalah lambang perjuangan. Untuk mencapainya, seseorang harus berjuang. Bahkan seorang David Beckham pun harus berjuang. Bahkan seorang Pele pun harus berjuang untuk mencapainya. Namun, tidak perlu berlebihan, tidak perlu curang, karena kecurangan tadi akan merusak kesempurnaannya. Tidak perlu "Tangan Tuhan" untuk mencetak sebuah gol. Sportivitas atau kejujuran harus dijunjung dalam usaha mencapai cita-cita. Walaupun kita membutuhkan pengakuan (recognition) bukan berarti harus memaksakan. Bukankah sesuatu yang kita capai dengan jujur akan lebih berkesan bagi kita?

Usaha mencapai cita-cita adalah drama. Drama yang baik adalah drama yang tidak mudah ditebak, karena itu akan lebih berkesan. Persis seperti usaha kita selama ini yang tidak terlalu mudah ditebak hasilnya. Namun siapa yang lebih fokus dan lebih tenang serta sabar, akan mendapatkan hasil yang gemilang. Anda mau?

Tidak ada komentar: