Jumat, 16 Oktober 2009

Jadi HAKIM Seperti BISMAR SIREGAR SH.

By Y.S. Aji Soedarsono
16 Oktober 2009

Pada hari Minggu tanggal 11 Oktober 2009 adalah salah satu hari yang sangat berkesan dalam hidup saya. Pada hari itu saya berkesempatan bertemu muka dan berjabatan tangan dengan seorang yang sangat hebat. Yang lebih dalam lagi, pada kesempatan itu, saya mendapatkan curahan semangat untuk tetap kukuh dalam bertindak lurus dalam hidup ini.

Sore itu, saya diundang oleh seorang teman untuk hadir dalam acara bedah buku yang dikarang oleh seorang mantan Hakim Agung Indonesia. Teman saya ini menjadi anggota panitia acara tersebut. Pengarang buku ini adalah BISMAR SIREGAR SH. Bukunya berjudul “Islam Akhlak Mulia, Renungan-renungan di Tengah Malam Sunyi.” Bismar pernah menjadi Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan Utara, dan pada saat menjelang pensiun, dia adalah seorang Hakim Agung di Mahkamah Agung RI.

Dalam uraian singkatnya, dia menjelaskan bahwa dulu ketika memutuskan menjadi hakim dan bukan menjadi jaksa, adalah karena menjadi hakim lebih independent. Seorang hakim tidak harus melapor dulu kepada atasan ketika akan memutuskan suatu perkara. Dengan ternyata pilihannya tepat. Dengan demikian dia mempunyai ruang yang sangat luas untuk bertindak adil dalam setiap keputusan yang diambilnya.

Dari dulu hingga kini, menjadi hakim tidak pernah kecil tantangannya. Namun ada perbedaan besar antara zaman dulu dengan zaman sekarang. Dulu, sangat sulit menentukan di antara 10 orang hakim, siapa yang tidak jujur. Zaman sekarang adalah sebaliknya.

Ketika kini tidak lagi menjabat, dia lebih suka menjadi penulis. Ketika buku “Islam Akhlak Mulia” selesai dan sebagian akan dibagikan secara gratis kepada beberapa orang, komentar istrinya adalah: “Miskinlah kau nanti.”
Bismar menjawab:”Tidak. Ini adalah depositoku untuk hidupku di akhirat nanti.”

Dalam bedah buku tersebut, diungkapkannya bahwa menjadi hakim tidak melulu sekadar merujuk kepada Undang-Undang yang tertulis. Dalam beberapa kasus, dia mengambil keputusan berdasarkan kepada hakikat dari suatu permasalahan walaupun mungkin tidak cocok atau tidak ada pada pasal-pasal dalam Undang-Undang. Hal itu diakui oleh anak-muridnya yang hadir pula dalam acara bedah buku tersebut.

Pada kesempatan bedah buku tersebut, peserta bedah buku memang mendapatkan buku tersebut secara gratis, termasuk saya. Ketika acara bedah telah selesai, secara spontan, beberapa orang, termasuk saya, mengantri untuk mendapatkan tandatangannya pada buku gratis yang kami dapatkan.

Pada giliran saya, beliau menanyakan nama saya. Saya menjawab seraya menambahkan: ”…Pak, saya juga menulis sebuah buku kecil tentang cita-cita, yang pada bagian penutupnya saya menuliskan pesan agar para remaja tidak bercita-cita menjadi seorang koruptor. Apabila bapak berkenan, saya akan ambilkan untuk bapak.”

Dia mengangguk. Saya segera mengambil buku “DreamSMART® for Teens” dari tas saya. Dia meminta saya membubuhkan tandatangan saya di buku yang akan saya berikan kepadanya, sementara dia membubuhkan tandatangan di buku yang dibagikan secara gratis kepada saya.

Akhirnya, kami saling bertukar buku. Kami saling bersalaman disaksikan oleh beberapa orang yang mengantri di belakang saya. Terimakasih Pak Bismar Siregar, semoga di Indonesia ada banyak lagi hakim yang seperti anda. Amiin.