Minggu, 15 Juni 2008

BAHASA CITA-CITA


Beberapa bulan yang lalu, saya sempat bertemu seorang ibu dari klien saya, yang tinggal di Jakarta Selatan. Dia mempunyai seorang putri yang berusia hampir 15 tahun ketika itu, yang manis, cerdas, baik, sangat menguasai berita tentang selebritis, suka dan hafal lagu pop lokal dan impor, dan mempunyai cita-cita. Namun, si Ibu tidak dapat memahami dan tidak habis pikir, mengapa anak perempuannya ini “hanya” ingin menjadi Penyiar Radio. Bukankah masih banyak pilihan lain yang lebih baik dari itu? Begitulah pikir ibu ini.

Menurut penuturan kedua belah pihak, si anak dan si Ibu, yang berbicara kepada saya secara terpisah, ketika di rumah, seringkali dalam pembicaraan akan berakhir dengan ketidakcocokan. Si anak pikir begini, si ibu pikir begitu dst.

Sementara itu, dari Bandung, seorang klien yang tinggal bersama ibunya yang single parent, bertutur bahwa dia tidak dapat mengkomunikasikan tentang Cita-citanya dengan Ibunya ataupun dengan kakaknya. Menurutnya, kedua orang itu tidak akan mengerti, karena sementara ini, pendidikan Ibunya dan Kakaknya tidak setinggi dia. Padahal klien saya ini baru kelas 11 mau naik ke kelas 12. Jadi, dia tidak dapat berdiskusi dengan orang-orang di rumah tentang Cita-citanya. Dia adalah remaja putri yang idealis, cerdas, cukup sensitif dan mempunyai logika yang kuat. Dia ingin menjadi Insinyur Elektro walaupun ada juga hasrat untuk memperbaiki ekonomi rakyat Indonesia. Waw, mulia sekali! Dalam setahun ini akan dia putuskan, yang mana yang akan dia pilih.

Seorang klien, remaja putri lain dari Jakarta Timur, dengan gencar bertanya bertubi-tubi kepada saya, apakah yang harus dia pilih, masuk SMK atau masuk SMU. Dia ingin mendapatkan informasi dari orang lain, selain dari ortunya, karena ini masalah masa depannya. Dia sangat ingin menjadi seorang Entrepreneur. Namun, ketika saya tanya menjadi entrepreneur bidang apa, dia masih cukup bingung. Tapi sungguh, dia ingin menjadi entrepreneur. Setelah berdiskusi cukup panjang, akhirnya dia mengakui cukup tertarik untuk mendirikan sebuah Taman Kanak-kanak dan Kelompok Bermain anak. Jadi kesimpulannya, dia putuskan untuk melanjutkan ke SMU, karena akan melanjutkan kuliah Psikologi.

Seorang klien dari Maros, Sulawesi Selatan, kelas 12, setahun lalu bercerita bahwa dia tidak mendapat dukungan dari ortunya karena bercita-cita ingin menjadi seorang polisi. Setelah bernegosiasi dan setelah mendapat sedikit masukan dari saya, akhirnya, tahun lalu dia lapor bahwa dia mendaftar untuk masuk di Akademi Angkatan Udara, Jogja. Sayang, tak ada kabar lebih lanjut lagi. Semoga dia dapat masuk ke sana. Saya beranggapan “No news is good news.”

Lain lagi cerita dari Jember. Tahun lalu, seorang remaja putri, justru disuruh oleh ortunya untuk mendaftar di AKPOL, Semarang, padahal dia sangat ingin menjadi Psikolog. Saran saya ketika itu, kalau masih dapat dinegosiasikan, masuklah ke fakultas psikologi, lalu nanti setelah lulus daftarkan diri masuk menjadi Polisi, melalui jalur profesi. Polisi pasti banyak membutuhkan tenaga psikolog.

Apakah begitu sulit mengkomunikasikan sebuah cita-cita kepada orang tua kita?

Mungkin saja, kalau kedua belah pihak mempunyai Bahasa yang berbeda dalam berdiskusi tentang cita-cita. Juga akan sulit jika masing-masing memakai referensi dari jamannya sendiri-sendiri tanpa peduli dan peka terhadap situasi terakhir: tantangan dekade ini dan tantangan abad ini!

Orang tua, ayah-ibu, yang memahami bahasa para remaja baik putra atau putri mereka, adalah mereka yang cukup peka dan tanggap akan situasi terakhir. Mengapa saya katakan begitu? Begini ney crita na:

Bahasa remaja ‘secara ni’ adalah bahasa SMS khas remaja. Bahasa yang seringkali mereka ciptakan sendiri. Bahasa itu menurut mereka cukup lugas, cerdas, ga gaptek, dan ga bikin bĂȘte gitu loch. Selain dalam SMS, bahasa ini sering mereka pakai untuk OL. Mereka sangat tidak respek kepada ortu yang gaptek. Secara gitu loch! Oleh karena itu saya anjurkan kepada para ortu, pahamilah bahasa para remaja, putra-putri kita, biar GAUL!

Bahasa adalah masalah KESEPAKATAN, yaitu sepakat memakai "kode tertentu" yang sama untuk suatu arti tertentu. Jika ada yang belum sepakat, bagaimana caranya supaya orang yang terakhir akhirnya sepakat. Namun, semuanya harus dengan SOPAN dan SANTUN. Sopan, artinya memakai ETIKA, dan Santun, artinya ‘giving’ atau memberi, dalam hal ini memberikan EMPATI kepada kawan bicara kita. Jika satu hal telah disepakati, maka akan ada banyak hal lagi yang akan dapat DISEPAKATI. Semakin banyak yang disepakati, maka semakin mudah mencari SOLUSI yang paling baik. Dalam hal ini termasuk juga tentang “masalah” CITA-CITA.

Anda SEPAKAT?

Tidak ada komentar: