Rabu, 14 Mei 2008

CITA-CITA DAN MENTOR YANG ANDAL

Dalam beberapa hari ini, kita masih akan menonton kabar tentang Piala Thomas dan Uber. Indonesia sebagai tuan rumah mempunyai peluang yang cukup besar untuk menjadi juara.
Indonesia memang boleh bangga dengan prestasi Bulutangkisnya.

Namun, apakah semua potensi calon juara dari daerah telah terserap dengan merata? Saya yakin, sangat banyak anak-anak di luar Jakarta, dan juga di luar Jawa, yang bercita-cita menjadi pemain bulutangkis dan ingin menjadi juara dunia atau olimpiade. Siapa sih yang tidak ingin menjadi orang seperti Rudy Hartono atau Susi Susanty?

Di harian KOMPAS pada hari ini (14 Mei 2008) diberitakan perjuangan anak-anak daerah untuk menjadi pemain nasional. Di beberapa kota besar, ada beberapa perusahaan yang bersedia menjadi sponsor untuk penyelenggaraan pelatihan daerah. Tapi apa sudah cukup? Belum!

Keluhan para pembina di sana, mereka tidak mengetahui dengan pasti apakah program latihan mereka telah sesuai dengan standar nasional Indonesia atau belum. Para pelatihnya pun boleh dibilang belum ada yang mempunyai trek rekor di tingkat nasional, apalagi internasional.

Pelatih adalah mentor. Mentor yang baik, adalah yang dapat menjadi guru, menjadi teman, menjadi kakak, dan menjadi keluarga. Namun, Mentor harus juga mempunyai visi yang luas. Visi dapat diperoleh dari pengalaman dan visualisasi. Jika keduanya dimiliki, maka dijamin bahwa anak didiknya akan lebih cepat maju. Kelemahan Mentor yang hanya dapat melakukan Visualisasi adalah bahwa mereka belum pernah mengalaminya. Contoh, seorang pelatih yang belum pernah keluar negeri, hanya dapat mengatakan bahwa di Inggris pada bulan Maret masih dingin, namun dia tidak dapat meyakinkan, seperti apa dinginnya, dan seperti apa gangguan fisik pada atlet karena kedinginan. Dia tidak dapat menjelaskan apa efek jetlag, ketika baru sampai dari perjalanan lebih dari 10 jam di pesawat. Dan yang lebih penting, ternyata berapa pembina belum begitu tahu takaran pelatihan yang dibutuhkan untuk dapat berprestasi, minimal tingkat nasional.

Tidak heran, jika pengurus pelatda ada yang mengatakan bahwa mereka sangat membutuhkan pelatih yang mantan pemain nasional, namun hingga sekarang belum mendapat jatah dari "pusat."

Kualitas pemain, kualitas pelatih dan ada tidaknya dana adalah masalah yang saling berpengaruh. Jika pelatih di pelatnas mendapat gaji yang cukup di Jakarta, apakah mereka juga akan mendapatkan gaji yang sama besar ketika akan melatih di daerah? Apakah ada perusahaan di daerah yang mau memberikan sponsorship sesuai nilai yang dibutuhkan?

Bahkan, ada pelatih daerah yang membandingkan antara anggaran untuk pelatihan Bulutangkis dengan Sepak Bola. Dengan anggaran yang lebih kecil, ternyata cabang Bulutangkis dapat menyumbangkan Emas di Olimpiade dalam beberapa penyelenggaraan, sementara Sepak Bola? Sekiranya anggaran dialokasikan ke cabang BuluTangkis, dia yakin hasilnya akan lebih hebat lagi. Setidaknya anggaran dapat dibagi sebagian ke pelatda.

Memang, mencarikan mentor atau pelatih atau pembimbing yang andal bagi para calon juara tidaklah mudah. Banyak faktor yang berbicara. Namun, betapa pun sulit, harus terus diupayakan agar terjadi proses "standardisasi" dalam cabang-cabang tertentu. Jika beberapa universitas negeri di Indonesia telah cukup mampu melakukan standardisasi dalam kualitas lulusannya, maka sewajarnyalah kegiatan "pendidikan olah raga" juga dapat melakukannya. Tentu ada konsekuensi biaya dari pemerintah dan kerelaan dari para mentornya. Tentunya, secara faktual, yang lebih menjanjikan prestasi adalah cabang "olahraga" yang tidak massal, seperti Bulutangkis, Catur, Tenis, dan Bridge. Untuk yang massal seperti sepakbola, rasanya masih jauh.

Jika tokoh seperti Rexy Mainaki telah dapat melakukan "standardisasi" kualitas pemain di Inggris dan di Malaysia menjadi "seperti Indonesia," karena dia telah pernah melatih di sana, maka wajar jika hal serupa dapat dilakukan di daerah-daerah di Indonesia, asalkan cukup dana untuk membiayai (menggaji) dengan nilai yang wajar bagi para mentornya.

Sungguh sayang jika Cita-cita dan Mimpi besar para anak berbakat tidak dapat terwujud karena ketidakmerataan kualitas dan kuantitas para pelatihnya, tidak ada Mentor Andal. Bakat yang ada akan terbuang percuma. Akankah kita tinggal diam?

Tidak ada komentar: