Senin, 26 Mei 2008

PENEMUAN DIRI DAN CITA-CITA

"Apakah aku masih berguna bagi orang lain?"
"Apa sih yang aku punya sehingga aku dapat membantu orang lain?"
"Siapa aku dan mengapa aku begini?"

Ketiga pertanyaan di atas cukup sering ditanyakan oleh para remaja. Bagi anda orang dewasa yang telah "berhasil" melalui masa remaja, mungkin anda pernah mengajukan satu atau beberapa pertanyaan yang mirip dengan yang di atas.

Seorang klien di Bandung sempat bertanya,"Kak, apa betul posisi sangat menentukan prestasi?"
Dia bertanya demikian karena dirinya merasa sebagai seorang siswa yang dikelilingi oleh beberapa orang teman yang hobinya bercanda dan tidak pernah serius dalam belajar, sehingga nilai rapornya menjadi tidak optimal.

Saya jawab,"Coba berikan kepada teman-temanmu TUJUAN."

Seseorang yang mempunyai tujuan, pasti akan mempunyai semangat yang berbeda dengan orang yang sama sekali tidak punya tujuan. Walaupun tujuan dapat untuk diri sendiri ataupun untuk orang lain, yang penting ada tujuan, maka semangat akan bertambah.

Seorang keponakan (jauh) ketika ditanya cita-citanya, dia katakan dia ingin menjadi dokter. Saat ini dia hampir lulus SMP (sedang melaksanakan ujian akhir sekolah sambil menunggu hasil Ujian Nasional). Ibunya menimpali,"Ah..mungkin karena dia melihat kakeknya sedang sakit dan di-opname, makanya dia jawab seperti itu."

Dalam hal ini, mungkin si anak memang ingin membantu sang kakek, dan orang-orang lain yang sedang sakit, walaupun sekarang tidak banyak yang dapat dia lakukan. Atau, boleh jadi dia juga ingin mencapai sesuatu untuk dirinya sendiri, bahwa jika menjadi dokter maka akan mendapatkan penghasilan yang lumayan. Atau, boleh jadi kedua-duanya.

Memang, 3 pertanyaan di atas, akan lebih baik jika diubah menjadi:
"Bagaimana supaya saya dapat membantu orang lain?"
Tentunya, karena pada pertanyaan yang terakhir ini telah tersirat adanya perumusan langkah dan tindakan, jauh lebih maju daripada sekadar "mengapa."

Saya jadi teringat berpuluh tahun lalu, di tahun 1980, ketika saya duduk di kelas 2 SMP (sekarang istilahnya kelas 8). Ya, pertanyaan saya kepada diri saya sendiri adalah:

"Apakah aku masih berguna bagi orang lain? Kalau prestasiku turun terus, mau jadi apa aku?"

Apa yang memicu diri saya mengajukan pertanyaan itu?
Waktu itu sebagai remaja, tentu sama dengan teman-teman yang lain, dan sesuai dengan teori psikologi yang umum, sedang mencari jati diri. Namun, ada suatu hal yang mengganggu pikiran saya. Nilai rapor saya dari semester ke semester semakin turun. Saya sedih melihat grafik nilai saya yang menurun. Semester 1 (kelas 1) jumlah nilai saya 74 (dari 10 pelajaran), semester 2 mendapat nilai 73, dan di semester 3 (kelas 2) mendapat nilai 72. Ah, mau jadi apa saya nanti?

"AKU HARUS BERUBAH!"

Hal itu yang ada di dalam benak saya. Kalau saya tidak berubah, maka "saya tidak akan jadi apa-apa." Tapi, saya tidak tahu banyak tentang diri saya, kecuali bahwa ketika lulus SD, ibu saya mendaftarkan saya untuk mengikuti Psikotest di sebuah lembaga psikologi terkenal. Bagaimana hasilnya?

Sungguh, kalau saya membaca angka dan kode-kode penuh rahasia di lembar yang ada, saya jadi tambah bingung. Hanya saja, ibu saya mengatakan,"Nilai kamu nggak jelek kok." Saya hanya sempat membaca atau mendengar bahwa nilai IQ yang rata-rata adalah 100. Artinya kalau sudah mencapai 100 + alhamdulillah, berarti sudah di atas rata-rata. Itu saja.

Jadi dengan bekal 100 + alhamdulillah tadi, saya berusaha berubah. Mencari cara untuk mempelajari Sejarah yang bikin mabuk dengan angka-angka tahun dan tanggal, belajar matematika dengan latihan soal, karena tanpa latihan soal nggak akan bisa menjawab soal saat ujian. Menghafalkan Biologi yang memang harus dihafalkan. Saya jadi ingat ada istilah "anabaena azolae" atau semacam itu lah yang sering diplesetkan oleh teman-teman menjadi "anabaena Ajilae."

Alhamdulillah, sekali lagi Alhamdulillah, nilai terdongkrak, hanya dalam waktu 1 semester. Saya yang tadinya ada di "papan tengah" tiba-tiba berada di "papan atas" klasemen. Ternyata saya berhasil berubah dan nyaris di semua pelajaran mendapat tambahan 1 angka. Nilai rapor saya di semester 4 adalah 80,5 untuk sepuluh mata pelajaran. Jadi naiknya 8,5 angka. Buat saya, ini fantastis! Never thought it might happened. Itulah momen penemuan diri saya.

Jadi, seorang remaja yang sedang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan, tentang jatidirinya, membutuhkan pemicu untuk bangkit. Untuk menemukan dirinya sendiri.

Jadi, orang dewasa yang ada di sekitar para remaja, perlu untuk memantau dan menyemangati mereka para remaja. Yaitu untuk membantu mereka menemukan diri mereka sendiri dan memosisikan diri dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka harus mempunyai tujuan dalam hidup. Tentunya, hal itu harus diikuti dengan membangun Cita-cita yang SMART, agar lebih cepat mencapainya.




Tidak ada komentar: