Jumat, 30 Mei 2008

Cita-cita untuk Bercocok Tanam

Sahabat saya, Anton, ketika pulang dari kunjungan resminya ke Thailand, tahun 2007, bercerita betapa bagusnya bus antar kota yang dia tunggangi dari Bangkok ke arah utara di sebuah kota pantai. Berikutnya, ketika pulang dari kunjungan tidak resminya ke beberapa negara jiran, Malaysia Timur, Malaysia Barat, dan Thailand selatan, di tahun 2008, dia bercerita betapa istimewanya Thailand.

Karena pada kunjungan keduanya ini dia masuk dari Thailand selatan, maka cerita bermula di sana. Betapa makmurnya petani di Thailand! Itulah kesannya ketika saya tanyakan lebih khusus tentang para petani di sana. Mungkin dari pertanian yang pernah disinggahinya itu, dipetik dan diekspor ke negeri kita yang namanya: Durian Bangkok. Bagaimana petani di negeri kita?

Saya ingat, di pertengahan tahun 1984, banyak teman-teman saya yang lulus SMA kemudian melanjutkan studi ke sebuah institusi yang secara spesifik berkecimpung di dunia pertanian. Empat atau lima tahun kemudian, teman-teman yang kuliah di sana telah banyak yang lulus. Mereka pun bertebaran di muka bumi. Sebagian besar melamar. Sebagian kecil dilamar. Yang dilamar kebanyakan adalah yang wanita.

Namun, setahu saya mereka semua melamar pekerjaan, tidak ada yang dilamar oleh pekerjaan. But, who knows! Mungkin setelah membaca tulisan ini mereka akan berbagi cerita--dan itu yang saya tunggu--mereka akan berkata,"Siapa bilang aku melamar kerja, orang banyak tawaran langsung datang kok."

Ya, sebagian besar mereka melamar bekerja untuk bercocok tanam. Namun, bercocok tanam yang satu ini hanya menghasilkan bunga, tapi tidak menghasilkan daun dan tidak menghasilkan buah. Sebagian besar mereka bercocok tanam di bank-bank swasta dan bank pemerintah. Ada juga sih yang bekerja menjadi PNS dengan bidang yang sesuai: Pertanian, Peternakan atau Perikanan.

Tadi malam, ketika saya menjadi narasumber untuk sebuah acara talkshow di RRI programa 3 Nasional, mau tidak mau, saya dengan sangat terpaksa sekali harus bicara tentang pertanian, padahal temanya adalah Kritik yang Sopan dan Santun. Mengapa bicara pertanian?

Karena permasalahan yang menjadi tantangan kita akhir-akhir ini adalah meroketnya harga bahan bakar minyak bumi. Nah, karena kita adalah Net-Importer, maka kita harus membayar lebih mahal untuk membeli. Beda dengan Venezuela, karena mereka adalah Net-Exporter, maka mereka (rakyatnya) menikmati harga bensin yang satu liternya hanya ratusan rupiah saja! Artinya, karena negara sudah untung dari hasil ekpor minyak bumi, maka tidak ragu-ragu untuk memberikan subsidi atau bagi benefit kepada rakyatnya.

Jadi pertanyaannya adalah,"Bagaimana agar negeri ini dapat menjadi Net-exporter?"
Jawabnya, menurut saya,"Galang masyarakat untuk bercocok tanam! Khususnya Singkong dan pohon Jarak."

Kedua tanaman tadi dapat menjadi sumber bahan bakar yang kalau surplus, dapat kita ekspor. Kalau saja para teman saya yang pandai bercocok tanam tadi mulai teringat untuk kembali terjun ke bidang ini, dan dapat menggalang ratusan juta petani dan masyarakat untuk menanam singkong dan pohon jarak, maka dalam waktu dekat, pasti negeri kita ini dapat menjadi net-exporter bahan bakar (tidak harus minyak bumi).

Jadi, sebenarnya prospek untuk kembali bercocok tanam adalah sangat baik, apalagi jika digabungkan dengan kreativitas yang tiada batas. Menciptakan banyak alternatif bahan bakar, dan tidak lupa mendaftarkan patennya, sehingga tidak keduluan oleh negeri jiran. Semoga saja ongkos daftar paten dapat diturunkan dan waktu proses paten dapat dipercepat.

Setelah memandang Visi dan Prospek yang sangat cerah dalam bidang ini, anda MAU?

Tidak ada komentar: