Sabtu, 10 Mei 2008

Cita-cita dan Ujian Nasional

Seorang siswa SMP kelas 9 di Cianjur, yang bernama Rz, yang belum mempunyai cita-cita yang jelas, sempat curhat kepada saya via SMS. Ketika itu, beberapa hari menjelang Ujian Nasional untuk SMP. Dia "bercita-cita" untuk lulus Ujian Nasional dengan nilai rata-rata 9!

Nilai itu dia butuhkan untuk dapat mendaftar di sebuah sekolah di Tangerang. Saya pikir, itu adalah nilai yang sangat tinggi. Saya dapat merasakan kekhawatiran dari cara dia menyampaikan SMS-nya.

Saya balas, bahwa dia sebaiknya lebih memfokuskan pada persiapan menjelang ujian, dan meminggirkan dulu kekhawatiran jika nanti tidak diterima di sekolah itu. First thing first! Yang penting dan mendesak adalah persiapan jelang ujian, bukan ketakutan itu. Jadi saya anjurkan dia untuk FOKUS! Nanti setelah keluar nilainya, baru dipikirkan lagi strategi (tepatnya: taktik) selanjutnya.

Pada hari-hari ujian, senja hari menjelang ujian Bahasa Inggris, Rz kembali SMS. Dia tanyakan, bagaimana caranya agar dapat nilai bagus untuk Bahasa Inggris, yang menurutnya dia sangat lemah. Karena sudah sangat mepet, saya hanya menyarankan kepadanya untuk mengambil kamus dan bacaan dalam bahasa Inggris, serta mencatat dan menghafalkan kata-kata yang belum jelas baginya.

Selanjutnya dia bertanya, apakah sebaiknya dia mencontek kepada temannya yang jago Inggris, karena saat ini dia "bercita-cita" untuk mendapat nilai bagus dalam Bahasa Inggris. Tentu saja saya tetap menyarankan untuk tidak usah mencontek dan lebih FOKUS pada sisa waktu yang beberapa jam untuk menghafalkan vocab.

Apakah Rz esoknya mencontek? Mungkin hanya Tuhan, dirinya dan malaikat yang tahu!

Hidup adalah pilihan. Ketika kita memilih dan bercita-cita, dan bersungguh-sungguh melaksanakan cita-cita tersebut, maka Tuhan akan membantu mewujudkan. Ketika kita "bercita-cita" untuk mencontek pada esok hari, dan tidak belajar malam ini, maka sangat mungkin Tuhan akan mengizinkan.

Hal itu sangat mirip dengan orang yang bercita-cita untuk menjadi pegawai negeri karena di sana akan mendapat gaji, tunjangan askes, dll, dan nanti akan mendapat uang pensiun, dan sehari-harinya boleh datang ke kantor jam 10.00 kemudian minum teh/kopi dan gorengan sambil baca koran, lalu kerja sebentar, lalu makan siang, istirahat, lalu kerja lagi sebentar, dan jam 14.00 pulang. Dia memilih, bertekad, melaksanakan dan Tuhan akan mengijinkan apa yang dia "cita-citakan."

Ketika sebuah departemen telah memilih menjadi Departemen KecerDIKan NASional, yang bertekad, dan melaksanakan visi Cerdik tersebut, maka itulah yang insyaALLAH akan terwujud. Kecerdikan (baca: kecurangan) telah menjadi kenyataan.

Hari Minggu ini, sebuah harian terkemuka di sini, memberitakan adanya "perang gerilya" alias "perang kecerdikan" yang dilakukan para guru secara sadar dan terpaksa, agar sebanyak mungkin siswa dapat lulus. Mereka tidak tertangkap. Jika ada berita bahwa di Sumatra ada guru yang tertangkap, berarti mereka tidak cukup cerdik!

Jika departemen tersebut di atas memilih untuk "bercita-cita" membuat sebanyak mungkin siswa "lulus" dengan nilai rata-rata di atas 5,25 dan mereka bertekad dan mewujudkan itu, maka itulah yang akan terjadi. Mereka akan mendapatkan lebih banyak siswa yang lulus, tapi sedikit saja yang jujur! Seandainya mereka "bercita-cita" untuk mendapatkan lebih banyak siswa yang jujur, berakhlak baik dan bertanggung jawab, sangat mungkin cerita dan beritanya akan berbeda. Mereka tidak akan mendapatkan manusia Indonesia yang jujur, berakhlak, berbudi pekerti luhur maupun yang bertanggungjawab, dengan cara seperti ini.

Saya setuju dengan pendapat Pak Arief Rachman, yang lebih mengutamakan kejujuran dan tanggung jawab, walaupun dia banyak diprotes oleh para orang tua. Bahkan dia dianggap terlalu jujur! Menurut saya, JUJUR tidak ada embel-embel TERLALU, karena jujur ya jujur! Saya juga sangat setuju bahwa yang harus diukur dari suatu proses belajar-mengajar adalah aspek afektif, psikologi, budi pekerti akhlak. Jadi, bagaimana cara kita untuk mendapatkan sebagian besar manusia Indonesia yang seperti ini?
(sumber: Kompas dan opini penulis)

Tidak ada komentar: